"Tentu saja aku tau Ma. Nino sudah cerita." Jawabku pura-pura tahu.

"Dan selama mama tinggal di sini mama tidak pernah melihat kamu mengurus suami mu." Aku menarik napas, maunya dia apa sih. Wajarkan kalau aku tidak mengurus Nino karena aku bukan siapa-siapanya Nino.

"Pak Halim lebih dulu mengenal Nino dan dia sudah terbiasa mengurusi semua kebutuhan Nino, lagi pula ada Tydes yang harus saya urus." Aku membela diri.

"Tidak ada alasan bagi istri untuk mengayomi suaminya. Dan mama rasa kamu bisa melakukan itu semua. Mama yakin kamu mampu melakukannya karena kamu perempuan yang sangat luar biasa."

Aku diam tidak bisa berkata apa-apa selain menjawab iya.

"Ya, sudah dapur biar mama yang urus. Kamu mandi sana karena sebentar lagi suami kamu akan pulang."

"Iya, Ma."

Aku tinggalkan dapur dengan menarik napas lega, aku tidak terlalu suka berhadapan dengan Ibunya Nino karena di setiap kesempatan dia selalu menguliahiku tentang menjadi istri yang baik. Tidak ada gambaran sedikitpun dalam hidupku untuk menjadi istri seseorang terlebih lagi Nino.

Ku langkahkan kakiku untuk menuju kamar Nino, tapi langkahku terhenti ketika aku mendengar suara tawa seseorang yang sepertinya sedang bermain.

"Anak pintar, Tydes anak siapa sih?" Pandanganku fokus menatap seorang laki-laki yang sedang duduk di bawah menghadap sofa dan Tydes ditidurkan di atasnya.

"Hai." Sapanya ketika pandangan kami bertemu, dia berdiri dan menatapku yang datang menghampirinya.

"Ini pasti Melati. Istri pura-puranya Bang Nino." Aku hanya menatap pria jangkung di hadapanku, dia beda dengan Nino sangat jauh beda, dia lebih kurus dari Nino dan kulitnya sedikit coklat, sementara mata hidung dan bibir tidak ada kemiripan sedikitpun dengan Nino, Nino mempunyai mata coklat dan tajam tapi mata dia hitam pekat terkesan lembut dan penyayang, Hidung Nino mancung dan bibirnya yang........ Adiknya malah kebalikan dari Nino.

"Kamu pasti heran dan bertanya-tanya kenapa aku beda?" Tanyanya tanpa melepas senyum sedikitpun seolah-olah dia sudah terbiasa dengan tatapan keheranan semua orang, bodoh. Kenapa aku malah melakukan hal yang sama dengan orang lain?

"Kami satu Ibu tapi tidak satu Ayah, Ayah Bang Nino di impor dari Italy sementara Ayahku Balikpapan asli. Tapi aku bersyukur aku mewarisi nama Ayahnya Bang Nino. Kenalin namaku Gianluca." Dengan bangga Luca memperkenalkan diri, membuat aku tersenyum.

"Aku Melati." Ku jabat tangan Luca dengan hangat.

"Istri pura-puranya Bang Nino dan Ibunya Tydes. Iyakan."

"Ya." Aku tertawa, Luca tidak terlalu buruk dia mampu membuat aku tertawa di pertemuan pertama kami.

"Ngomong-ngomong Tydes anak yang menggemaskan. Dia langsung bisa membuat aku jatuh cinta, padahal kami baru bertemu." Senyumanku hilang berganti dengan wajah prihatin, Luca pasti merindukan anaknya yang telah di buang.

"Maafkan aku Luca, maaf kalau Tydes mengingatkan kamu sama anak kamu." Luca menatapku seperti kebingungan dia mulai menautkan kedua alisnya.

"Anak." Gumamnya.

"Ya, dan aku turut prihatin atas musibah yang menimpa kamu." Sekilas aku melihat Luca menatapku heran tapi tangisan Tydes membuat aku melupakan tatapan heran Luca. Dengan cepat ku gendong Tydes dan menimang-nimangnya supaya tangisannya reda.

"Tydes pasti kangen mama ya, seharian di tinggal." Luca mengelus kepala Tydes dengan sayang.

"Ya, kangen dong Om." Jawabku mewakili Tydes yang masih terus menagis.

LOVEBIRDWhere stories live. Discover now