"Arash, apa yang kau lakukan di sini?" Tamya Aria sambil menoleh sekilas pada Jun dan mengangguk samar untuk memberi salam. "Ayo kita pulang." Ajak Aria sambil memegang lengan Arash, tapi remaja itu menarik kasar tangannya dari Aria.

"Paman saja yang pulang. Ibu tadi marah padaku. Untuk apa aku pulang? Menamparku lagi?" Tukas Arash bernada penuh emosi, tapi kemudian nada bicaranya berubah saat menoleh pada Jun. "Masih boleh menjenguk Kak Ryo kan, Paman?"

Jun tersenyum sambil mengangguk. Tidak ada alasan untuk menolak kedatangan Arash. Ryo juga baru bangun dan pasti merasa sepi karena sang nenek baru saja pulang untuk berganti pakaian. Ryo butuh teman dan Arash datang di saat yang tepat. Arash bergegas masuk ke kamar rawat tanpa memedulikan Aria yang memanggilnya.

"Tidak apa. Biarkan saja Arash di dalam dulu. Mungkin hatinya masih berantakan setelah berseteru dengan ibunya. Maaf, Anda ..."

"Ayahnya." Sahut Aria cepat. Jun sedikit terkejut dengan jawaban itu, tapi ia mengangguk mengerti. "Oh begitu ya. Kudengar dari Arash, dia tinggal hanya berdua dengan ibunya saat ini." Timpal Jun.

Aria terkekeh kikuk sambil mengusap tengkuknya. Baru sadar bahwa ia mengatakan hal yang masih jadi rencana dan angan-angannya, yaitu menjadi ayah Arash, meski belum resmi. "Oh, maaf. Maksudku, aku adalah calon ayahnya. Aku dan ibu Arash memiliki hubungan dan kami akan segera menikah. Jadi, aku sudah menganggap Arash seperti anakku sendiri." Jelasnya dengan penuh percaya diri. Jun tersenyum tipis sambil mengangguk samar. Situasi dua pria itu cukup kaku. Jun tidak berbicara banyak, begitu pula dengan Aria yang pada dasarnya adalah seseorang yang pendiam.

"Anak Anda sedang sakit?" tanya Aria, memecah suasana kikuk.

"Iya. Anakku pingsan tadi saat latihan dan Arash bersama teman-teman yang lain membawanya ke rumah sakit. Oh iya, aku berterima kasih pada Arash karena sudah membantu untuk mengantarkan anakku." Tutur Jun.

"Tidak usah sungkan. Arash memang anak yang sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Jadi, wajar saja kalau dia membantu temannya yang sedang kesulitan. Tapi aku minta maaf, sepertinya Arash akan sedikit merepotkan dengan sikapnya yang keras kepala seperti ini. Apakah tidak masalah kalau dia masuk?"

Jun mengulas senyum ramah. "Sangat tidak masalah. Ryo juga pasti bosan. Arash bisa menjadi teman mengobrol sampai nenek Ryo kembali ke sini." Jawab Jun.

Kedua pria itu hampir berada dalam situasi kikuk lagi jika Jun tidak mengajak Aria ke kafetaria. Setidaknya di sana, rasa canggung di antara keduanya bisa sedikit berkurang dengan segelas atau dua gelas kopi panas. Keduanya tidak banyak bicara. Hanya menghabiskan sebagian besar waktu untuk menyeruput kopi panas mereka dan saling menanyakan hal-hal biasa seperti pekerjaan dan tempat tinggal.

"Kantor hukum milikmu sudah lama berdiri?" tanya Aria, mulai mencairkan suasana dengan pembawaan yang lebih santai dibanding saat mereka baru bertemu tadi.

"Sudah hampir sepuluh tahun. Lima tahun pertama yang sangat berat dan sekarang aku dan tim bahkan tidak menyangka bisa bertahan sampai sekarang." Jawab Jun. Aria membulatkan bibir. Ada perasaan takjub karena membayangkan betapa perjuangan Jun pastilah sangat besar dan berat.

"Hanya tinggal dengan ibu dan anakmu? Istri?" Aria mulai mengorek informasi lebih dalam, tapi perubahan wajah Jun saat ditanya mengenai hal itu membuat Aria sadar diri. "Ah, maaf. Seharusnya aku tidak menanyakan hal yang terlalu pribadi."

Jun menggeleng cepat sambil terkekeh ringan. "Tidak, tidak. Bukan masalah besar. Aku memang tinggal bersama anak dan ibuku saja. Istriku memilih untuk tidak tinggal bersamaku lagi karena hal tertentu. Aku tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. Memaksanya akan menyiksanya. Aku mencintainya, jadi aku tidak ingin menyiksanya."

Aria mengernyit. Hatinya berdenyut mendengar ucapan itu karena terdengar sangat menyakitkan. Percakapan mereka berlangsung lebih santai. Aria lebih banyak bertanya dan disahut dengan jawaban menyenangkan dari Jun pula. Keduanya lebih cepat dari yang diperkirakan. Bahan obrolan menjadi lebih luas. Tidak ada berpendar pada hal-hal pribadi, tapi juga pada opini dan wawasan. Keasyikan itu pula yang membuat Aria lupa bahwa ia seharusnya menanti kehadiran Neida yang sedari tadi bersikeras untuk menyusul ke rumah sakit. Ia bahkan lupa untuk memberitahu Neida lokasi ia berada sampai ia tersadar bahwa ponselnya dalam mode diam. Cepat-cepat Aria menyentuh layar yang sudah penuh dengan notifikasi dari Neida.

"Aku ada di kafetaria, sayang. Kau bisa menyusul ke sini saja dulu. Arash masih di kamar temannya. Kita akan ke sana bersama ya."

Panggilan itu selesai dan Aria meletakkan ponselnya di samping cangkir berisi kopi yang sudah tinggal seperempat. Ia bersiap melanjutkan beberapa pertanyaan pada Jun saat matanya menangkap sosok wanita familier dari kejauhan, sedang berjalan cepat mendekatinya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Mana Arash?" tanya Neida sinis. Aria dan Jun berdiri bersamaan.

"Sudah kubilang kan Arash masih di kamar temannya. Kita duduk dulu saja sebentar? Kau harus berkenalan dengan ayahnya teman Arash. Jun, ini Neida." Aria menoleh pada Jun yang memaku pandangannya pada Neida. "Calon istriku yang aku ceritakan tadi." Sambungnya dengan bangga.

Jun berusaha untuk terlihat biasa saja, tapi Neida tampaknya tidak bisa menyembunyikan raut tidak suka pada Jun dan malah membuang muka. Aria sedikit kebingungan atas sikap istrinya, tapi tidak tahu harus melakukan apa.

Jun memecah kekakuan dengan berdeham pelan. "Ternyata calon istrimu sangat cantik ya. Tidak berubah sejak dulu." Ucapan Jun membuat Aria mengernyit heran.

"Sudah lama tidak bertemu ya. Apa kabar ..." Jun menjulurkan tangan untuk berjabat tangan, " ... Neida?"

To be continued

[Sourire]

Gimana? Lebih enak dibaca dengan bahasa dan susunan kalimat yang sekarang?

Terima kasih sudah tetap stay di sini. 
Ryo dan Arash membutuhkan support dari kalian untuk tetap berlanjut. 

Love

Wella

22 Februari 2021 

Repost

19 Juli 2021

SourireWhere stories live. Discover now