Cinta

464 35 2
                                    

Bersedia Koment?
Bersedia Vote?
Bersedia Share?
Okey!
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Trakt

Bunyi pintu kamar terbuka, terlihat Enyak langsung kepo menyelonong masuk.

"Mun? Lu kenape sih? Bikin kita semua jantungan aje?" gerutunya. Aku sedikit menyunggingkan senyum simpul dan berkata dengan gugup.

"Gak ada ape-ape sih nyak." singkatku terbata dengan sedikit mengelus tengkukku. Enyak sedikit menyapu pemandangan seisi kamar dan melirik dandananku.

"Ya udeh? Lu terusin dah.. Enyak pigi dulu." sigapnya berlalu.

"Kenape?" tanya babe yang nyelonong masuk juga namun secepat Kilat Enyak menyeret babe keluar.

"Udah beh.. Jangan ganggu ah!" singkat nyak mengibaskan rekahan senyum dan barisan giginya sama Iki.

"Maap yak mantu.., abis tadi nyak cemas dengar teriakan Mumun. Iki tampak Kikuk tersenyum."

"Beh.. Malam ini kita tidur di kamar belakang aje ye be. Atau kita punya radio? Masih bisa nyala gak beh."

"Apa'an si lu Onah! Emang tu orang bakalan perang pake tabok benderang segala ape? malam ini." gerutu babe. Aku hanya bisa tepuk jidat mendengar obrolan kedua orang tuaku itu berlalu. Kembali Iki berjalan ke arahku seketika aku nervous. Dan pipiku terasa hangat dan memerah. Aku tertunduk tak sanggup menatap mata Iki. Terasa pria itu berdiri sekarang tepat di hadapanku.

"Kenapa Lu diam aja saat di cium brengsek itu!" bentaknya sedikit aku dongakkan wajahku melihat wajah tampan suamiku itu.

"Dua hari yang lalu, Revan mengaku bahwa Mumun ini Istrinya Ki. Pada mamanya Tante Drista dia punya penyakit  keterbelakangan gitu. Sempat trauma sama penolakan dan kekecewa'an. Akhirnya mau gak mau aku harus pikirkan kesehatan tante Drista juga." ujarku panjang kali lebar. Iki sedikit menghela nafas dan menghenyak duduk di sampingku.

"Gua sakit melihatnya!" lirih Iki menoleh padaku. Aku mendegup dengan mata membulat. Bibirku gemetar melihat tatapan tajam pria itu. Namun seketika ia geram menarik tali bajuku.

"Ini semua apa-apa'an sih!" ujarnya. Dengan sigap aku memegangi kain didadaku agar tidak melorot.

"Tingkahlu udah kayak PSK kelas kakab aje!"gerutuya. Mataku membulat melihat Iki tersenyum kecut. Sedikit aku tertunduk dan menggaruk dahiku. Reflek kedua telapak tangan pria itu mengapit pipi Cubyku. Mataku terbuka dengan sayu menengadah melihat wajah tampan itu. Sorotan mata tajam dengan dua pupil berwarna coklat. Hidung mancung yang tampak sepadan dengan pola wajah nya, bibir sexi yang lembut memeerah ada sedikt lesung pipi di kanan di tambah lagi belah di dagunya yang membuat aku selalu berdecak kagum akan setiap sisi keindahan wajah tampan Iki, berondong ini begitu menggoda. Aku ingin terbenam bersama tatapan ini setiap saat, mencium harumnya deru nafas ini hingga akhir hayat, selamanya hingga nanti bisa mengecupnya kapan saja yang aku mau. Ah benar-benar aku tengah tenggelam dalam kabut asmara.

"Aku lebih suka kamu yang apa adanya." lirih Iki terdengar serak. Entah kenapa suara berbisik itu terdengar begitu sexi. Entah kenapa aku kebelet pipis jadinya. Wkwkwk. Aneh kan?.

"Kamu udah gak marah lagi sama aku?" ujarku. Iki sedikit melet dan menggigit bibir bawahnya lembut. Serasa sekarang aku bukan muneh. Aku serasa bongkah es yang siap kapan saja akan meleleh.  Cukup lama Iki terdiam.

"Aku sudah Resign, aku tidak bekerja lagi. Aku ingin fokus mengurus kamu saja Ki?" ujarku. Mata Iki sedikit terbuka.

"Kamu beneran?" singkatnya. Aku mengangguk dengan senyum, seneng aja. Tanpa sadar dari tadi. Panggilan Iki sama Aku gak pake Elu Gua. Tapi aku kamu. Sedikit pria itu mengangkat daguku. Mataku sedikit terbuka melihat bibirnya mendekat. Aku gemetar dan berdoa dalam hati. Sentuhan pria ini udah kayak aliran listrik. Mudah-mudahan aku tidak pingsan. Aku sudah mereng sedikit menanti kecupan suamiku. Namun sedikit Iki mundur dan berkata.

"Yakin..  Kamu udah siap liat junior aku." tanyanya sontak aku tersenyum simpul tertunduj. Dan kembali menatap matanya. Dengan pipi memerah. Aku mengigit bibir bawahku ragu mau katakan apa. Reflek saja Iki mengecup dan mengabsen seisi mulutku dengan tenang dan perlahan. Aku terbuai dan terpesona. Rasanya aku tidak percaya darahku mengalir sedikit lebih kencang dan jantungku berdebar.

"Semoga gak mati karna api asmara ini." bisikku di hati. Iki terus saja mencoba menggagahi tubuhku hingga menarik dan mengangkatku sesuai kemana aja yang dia inginkan. Aku salah berondong ini begitu berpengalaman dan perkasa. Entah kenapa aku terasa hanyut dan tenggelam moga-moga aja gak kelelep.

Drrrrrrt Drrrrt...

Bunyi ponsel Iki berdering, seketika kami menghentikan tarian ini dan coba menoleh pada nakas. Sedikit aku coba perbaikai pakaianku yang sudah sedikit terbuka.

"Siapa Ki?" tanyaku. Reflek Iki membenahi duduknya. Dan besandar di sandaran.

"Ya halo buk direkture." sahut Iki. Aku menautkan alis mendekat. Dan mendengar obrolan itu.

"Hallo Iki?, maaf tadi tidak sempat beri tau. Saya mau adakan makan malam dirumah. Saya  berharap kamu bisa hadir Ki, ini bentuk terima kasih saya karna kamu sudah membantu kemajuan perusaha'annya Revan. Ibuk suka saja melihat cara kerjamu." jelasnya panjang kali lebar. Aku dan Iki reflek bertatapan.

"Saya tidak bis-" ucapan Iki di cegat.

"Ibuk sangat berharap kamu bisa hadir Ki." tegasnya. Iki menghela nafas berat.

"Bb-baik buk." singkatnya Gugup. Iki mematikan panggilan itu dan meletakkan lagi ponselnya di laci.

"Kamu mau datang?" tanyaku. Iki sedikit berfikir dan manyun."

"Mungkin." singkatnya. Aku menghela nafas berat dan coba bersandar juga di sampingnya.

"Kenapa? Kamu kok di emaskan gitu sama tante Drista." ujarku. Iki sedikit membuang nafas dan berkata.

"Aku juga gak tau. Tapi jujur, aku suka aja mengobrol dengannya. Dia-" ucapan Iki aku cegat.

"Iki? Jangan bilang kamu suka yang lebih Tua dari aku?" bentakku Iki terkekeh.

"Bukan itu Mumun!" gemesnya merangkulku membawaku dalam dekapan

"Gimana? Kamu mau Ikut?" tanyanya, mataku sedikit membulat.

"Gak ah, aku males ketemu Revan!" singkatku dengan manyun.

"Buk Direkture akan kembali esok hari keluar negri. Kamu memang benar. Kita perlu jaga fikirkan kesehatan dia. Aku tau banyak dari Fano. Buk direkture. Kehilangan putranya dari kecil. Semenjak hari itu. Dia tidak bisa tekan perasa'an ataupun menyimpan kecewa." jelasnya, hatiku teranyuh.

"Tapi Ki? Buat apa kamu laku'in ini? Secara Revan sama sekali tak pernah bersikap baik padamu?"tanyaku. Sedikit Iki memainkan mimik wajahnya dan berkata.

"Gak tau kenapa? Melihat buk direkture aku kangen sosok ibu. Aku pengen punya ibu seperti dia." ujarnya, sedikit aku memandang wajah Iki dalam.

"Terus enyak?" tanyaku. Iki terkekeh.

"Enyak itu selalu nomor satu, dan takkan tergantikan. Ini beda lagi Mun." gerutunya. Aku sedikit mencibir.

"Ayok bersiap, lagian Fano juga pasti nungguin gua." sigap Iki beranjak. Aku nanar sejenak melihat Iki beranjak. Iki berdiri di samping Ranjang sembari melihatku di atas tempat tidur sedikit ia tersenyum tipis dan mendekatkan lagi wajahnya padaku.

"Udah, Nanti kita terusin lagi." bisiknya sembari mengecup bibir mungilku. Wajahku terasa hangat dan bisa ku lihat pipiku memerah.

"Kenape gak sekarang aje." batinku dihati.

"Sekarang keburu waktu, Gak bisa klimaks, lagian susah lu kan masih perawan? Ya, itupun kalo benar lu perawan." gerutu Iki, aku menoleh dengan tak habis pikir, selain tampan ni orang punya ilmu batin juga bisa dengar isi hatiku. Aku geram mendengar omongan dia barusan.

"Ya masih perawanlah! Sembarangan kalo ngomong!" tandasku.

Happy Reading......







SUAMIKU BOCAH!Where stories live. Discover now