Bab 16 (part 1)

53 5 0
                                    

Plak!

Tanpa rasa keraguan Sayhan melayangkan tangannya menampar pipi Nuhai sampai-sampai tubuh istrinya itu oleng dan hampir saja terjatuh.

Nuhai terkesiap dan tak sempat menghindar. Ia menyentuh bagian wajahnya yang terasa nyeri dan tampak permukaan kulitnya memerah kebiru-biruan. Matanya berkaca-kaca. Nuhai kaget bukan karena tamparan tersebut, tapi mengenai sikap Sayhan yang ternyata begitu tega menyakiti fisiknya.

"Kau masih saja tidak mengaku! Memang benar aku selama ini terlalu baik padamu!" bentak Sayhan mengeluarkan suara begitu keras hingga memenuhi seisi ruangan tengah.

Nuhai diam. Ekspresi mukanya juga datar tidak menunjukkan apa-apa, tapi satu yang pasti ... ia amat kecewa atas sikap Sayhan kali ini. Tak sengaja pandangan matanya mengarah ke pintu yang ternyata tidak tertutup rapat dan terlihat di sana ada Saidan dan juga Saidar sedang mengintip melalui celah yang ada. Hati Nuhai bertambah sedih melihat anak-anaknya harus menyaksikan pertengkaran orang tua mereka.

"Aku memang tidak bersalah, lalu kamu inginnya aku mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan, begitu?"

"Bukti sudah ada dan kau masih saja menyangkalnya? Apa yang harus kulakukan supaya kau mengaku, ha?!"

"Sayhan." Suara merdu Luna terdengar.

•••

Di ruangan yang didominasi oleh banyak kanvas dan juga easelnya, serta berbagai jenis kuas, palet untuk melukis, dan yang terakhir adalah cat warna. Ruangan tersebut dinamai Nuhai's painting room. Ya, Nuhai memutuskan untuk menerima hadiah pemberian dari sang suami dan setelah dipikir-pikir sepertinya ini adalah hadiah pertama yang Nuhai terima sejak mulainya ia amnesia. Nuhai menganggap ruangan khusus tersebut sebagai 'hadiah' sebab ia pasti tidak akan berani mengklaim atau memakai satu ruangan untuk dirinya sendiri meskipun rumah tersebut milik suami sendiri.

Sekarang ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Tentunya di jam-jam seperti ini Sayhan masih di kantor bersama Zafyan yang juga sekalian ingin melihat kondisi perusahaan. Gita juga tidak ada di rumah, wanita paruh baya itu berjalan-jalan serta membawa cucu kembarnya. Sedangkan Nuhai memilih untuk tetap di rumah duduk termenung di atas kursi kayu sambil terus memerhatikan lukisan yang katanya digambar oleh tangannya sendiri.

Yaps, Nuhai sedang berada di dalam painting room-nya, sendirian diselimuti oleh keheningan di siang menjelang sore hari.

Ia tengah serius meneliti setiap detail garis yang ada di dalam lukisan tersebut. Lukisan yang tempo hari lalu sukses membuatnya syok berat sampai-sampai tidak mampu berkomentar apa-apa. Bayangkan saja, mungkin bagi orang awam tidak akan bisa tahu makna yang terkandung di dalam lukisan tersebut. Namun, bagi Nuhai yang sebelumnya sudah belajar tentang dunia seni melukis selama hampir lima tahun, ia sangat tahu betul apa arti di balik lukisan yang saat ini terpampang di depan matanya.

Kesedihan yang begitu mendalam, kekecewaan yang tiada habisnya terus dirasakan, keputusasaan yang menyerang diri dan ingin mengakhiri hidup, kepercayaan yang sudah sirna, rasa yang telah mati, air mata yang mengering tak ada lagi sisa yang bisa ditumpahkan dari mata, semua telah selesai. Waaah ... Nuhai benar-benar tercengang dengan pesan-pesan yang disampaikan dari lukisan tersebut.

Semenderita apa sih, si pelukis gambar ini? Hidup berat apa yang ia jalani hingga sepilu ini? Eh? Tunggu dulu ... bukankah—aiiih ... Nuhai mengutuk dirinya sendiri. Ia lupa bahwa kenyataannya lukisan tersebut adalah hasil goresan tangannya sendiri. Tetapi, anehnya Nuhai merasa malu dan tidak mau mengakui kalau ia pernah melukis gambar tersebut, karena lukisan itu terlihat sekali sangat menyedihkan seakan-akan tak rela jika ujian kehidupan menimpa dirinya.

Mendadak Lupa IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang