06 : Baik-baik Saja

Start from the beginning
                                    

"Tidak apa. Terlalu dingin udaranya, jadi sedikit demam. Dia merasa pusing tadi?" tanya Jio sambil melepas stetoskop dari telinga. Jun mengangguk dan menjelaskan beberapa gejala yang dialami Ryo. Jio memandangi Ryo yang sedang berpejam tenang.

"Jun, ada yang perlu aku bicarakan. Bisa kita bicara di luar?" Jun menyetujui dan mereka bergerak keluar dari kamar Ryo, tapi urung karena Ryo ternyata memanggil sang ayah. Ia membuka mata dan bangkit dengan susah payah karena kepalanya yang masih terasa pusing. Jun buru-buru mendekati putranya.

"Hei, kenapa tidak tidur?"

"Terlalu pusing, Ayah. Aku tidak bisa tidur." Keluh Ryo. Jun menoleh pada Jio tanpa kata, tapi Jio mengerti. Ia harus menunda pembicaraan. Karena itu, Jio memilih untuk melanjutkan langkah, tapi sekali lagi, Ryo mencegahnya.

"Paman Jio ..." Suara Jio terdengar parau. Ia menatap sang dokter dengan serius. "Boleh aku tahu apa yang akan kalian bicarakan?" pinta Ryo. Jun tertegun sambil menoleh pada Jio. Jio berdeham kikuk, memandang Jun dengan bingung.

"Bukan masalah besar, Ryo. Kau istirahat saja ya. Aku akan membicarakannya nanti saja dengan ayahmu."

"Ini tentang aku, iya kan?" Jun terdiam. Sementara Ryo tidak menyerah untuk membuat sang dokter dan ayahnya berbicara. "Kalau bukan tentangku, kenapa kalian harus keluar dari kamar ini untuk membicarakannya? Ada yang harus disembunyikan?"

Desakan Ryo membuat Jio dan Jun semakin tidak enak hati. Keduanya hanya bisa terdiam saat diserang oleh remaja tujuh belas tahun itu. "Ayah?"

Jun masih terdiam, tapi kemudian ia mengembuskan napas. Tidak bisa lagi mengelak dengan cara apa pun. Jio pun bergerak mendekat ke kasur Ryo, duduk di dekat ayah dan anak itu.

"Ryo, kau tahu, dulu kau pernah mengalami kondisi yang sangat buruk sewaktu masih bayi, tapi semua bisa terlewati dan kau bisa hidup sehat sampai sekarang."

"Iya, aku tahu tentang itu. Ayah pernah menjelaskannya. Tentang kondisiku yang benar-benar lemah waktu kecil, tapi sekarang aku baik-baik saja kan? Aku bahkan jadi atlet bulutangkis. Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan. Iya kan, Ayah?" Ryo memberi tatapan penuh harap akan persetujuan sang ayah atas ucapannya barusan. Namun Jun malah mengalihkan pandangan. Berusaha untuk tidak menatap mata Ryo yang benar-benar membuatnya lemah.

"Kau baik-baik saja dan kami harap akan begitu seterusnya." Imbuh Jio.

"Lalu apa yang jadi masalahnya?"

"Kondisi tubuhmu menurun, menunjukkan gejala awal dari penyakit yang dulu sempat kita anggap sudah hilang dari tubuhmu."

Ryo menghela napas panjang. Ekspresinya datar, tidak bisa diartikan. Jun memandangi putranya dengan penuh cemas. Penjelasan Jio pun hanya sampai pada pernyataan bahwa Ryo mengalami gejala saja. Tanggapan diam Ryo membuatnya tak tega melanjutkan penjelasan.

"Aku tidak apa-apa." Ujar Ryo. Jio mengangguk setuju.

"Kau benar. Kau tidak apa-apa. Agar kau bisa mempertahankan kondisi itu, kau harus menjalani beberapa perawatan untuk mencegahnya semakin buruk. Kita tidak ingin mengambil resiko yang ..."

"Aku tidak apa-apa!" seru Ryo, mengejutkan Jun dan sang dokter. Ryo memandang Jun dengan tatapan nanar. "Aku baik-baik saja. Iya kan, Ayah?" pertanyaan itu berulang kali Ryo lontarkan dan berulang kali Jun harus mengangguk setengah hati.

Jun merapatkan bibir sambil mengangguk. Dahinya mengernyit, hatinya sakit melihat wajah pucat sang putra yang bersikukuh bahwa keadaannya tidaklah buruk. "Aku tidak akan mati kan? Aku pernah melewatinya sekali dan kurasa aku bisa melewatinya lagi dengan lebih baik. Jadi ..." Ryo menelan ludah dengan susah payah, lalu memaksa senyum di bibirnya. "... tidak perlu khawatir. Aku tidak apa-apa." Ryo mengatakan itu tepat untuk dirinya sendiri.

Ketiganya terdiam sejenak. Tidak ada yang berani bersuara lagi setelah pernyataan Ryo barusan. Mata Jio dan Jun berpusat pada Ryo yang kini menatap ke arah jendela. "Bisakah kalian keluar?" Permintaan Ryo membuat Jun dan Jio sedikit tersentak. Jun mengusap lengan Ryo, berusaha untuk menarik perhatian sang putra tapi dengan lembut, Ryo menjauhkan tangan sang ayah.

"Tolonglah, Ayah, Paman." Ucapan itu membuat Jun dan Jio tidak bisa membantah. Meski hatinya cemas, Jun tidak bisa memaksakan diri untuk terus berada di kamar putranya jika Ryo saja tidak bersedia ditemani.

Sedetik setelah pintu tertutup, Ryo menunduk. Menatap selimut yang ia remas dengan kuat, menahan kesal, kecewa, sedih dan terkejut yang berkumpul dalam hatinya. Ryo ingin mengeluhkan banyak hal. Ia kesal karena penyakit yang seharusnya sudah hilang, harus muncul lagi. Di saat ia sedang berada di atas awan, di saat ia sedang menikmati masa-masa remajanya. Di saat ia bertemu dengan seorang pengemar dan menjalin hubungan baik,menjelang pertandingan yang tak ingin ia lewatkan.

Penderitaan selalu datang tanpa pemberitahuan dan tidak tepat waktu.

Mata Ryo menerawang, menatap gorden yang menutupi sebagian jendelanya. Kedipan di mata sayunya melambat. Di kedipan berikutnya, air mata lolos membasahi pipi Ryo. Remaja itu memilih untuk memejamkan mata sambil menunduk. Dulu, saat sang ayah menceritakan tentang keadaannya yang menghadapi maut sewaktu kecil, rasanya tidak sesakit ini karena Ryo tidak benar-benar bagaimana rasanya kesakitan. Namun, mengetahui bahwa kini penyakit itu datang kembali, Ryo seperti ditembak dengan seribu panah di jantungnya.

Ryo mengeratkan genggamannya pada ujung selimut. Iamenekuk lutut dan menenggelamkan wajah di atasnya. Ryo menangis dalam heningsambil merapalkan mantra, "Aku ... baik-baik saja." 

To be continued

[Sourire]

Wella

1 Februari 2021

Repost

12 Juli 2021

SourireWhere stories live. Discover now