|10• Adaptasi Ulang

59 10 1
                                    

"Ayah, Sabel mau sembuh."

Ucapan lirih itu membuat pria yang sedang duduk menghadap komputer dengan satu jilid tebal kertas hvs langsung mendongak. Dia tersenyum, lalu menepuk kursi di sampingnya. Melihat itu Sabel yang sedari tadi berdiri di bawah tangga mendekat. Dia mendudukkan tubuhnya di samping sang ayah yang kini sudah melepas kaca mata dan menatapnya dengan senyuman.

"Ayah, Sabel mau sembuh," lirihnya lagi.

Ares mengusap rambut sang putri dengan sayang. "Sore nanti ayah hubungin Libra, ya. Biar kamu bisa mulai terapinya," balasnya lembut.

Sabel menggeleng ribut. "Nggak mau, Sabel maunya sekarang, Ayah."

"Tapi 'kan sebentar lagi bu Leni datang. Kamu juga harus belajar. Seperti janji kamu, tahun ini Sabel harus sudah lulus dan kuliah," tutur Ares masih mengamati air muka sang putri.

Sabel mendongak, menatap wajah sang ayah lamat-lamat. Dirinya masih tidak berkutik, pikirannya sibuk berkelana ke sana ke mari.

"Belajarnya ditunda nanti sore, ya, Ayah. Sabel janji nanti bakal belajar serius," rayunya memelas.

Menghembuskan napas samar, mau tak mau Ares mengangguk. "Ya sudah, ayah telepon Libra dulu. Setelah ini kamu harus jadi gadis yanh baik dan penurut, tidak boleh kabur-kaburan lagi," peringat Ares mengacak rambut Sabel. Ucapan itu hanya ditanggapi anggukan antusias dari gadis di sampingnya.

* * *

Di sinilah keduanya sekarang. Jalanan yang tidak sedikit yang berlalu-lalang. Gadis dengan hoodie putih dan rambut tergerai itu bersembunyi di balik tubuh tinggi Libra. Tangannya sedari tadi meremat kuat ujung kemeja hitam Libra, perasaannya sedang tidak menentu. Ada perasaan cemas dan resah yang tidak bersumber.

Pagi ini mereka akan menjalani terapi yang hampir tidak pernah Libra berlakukan pada pasiennya yang lain. Adaptasi ulang, pengenalan kembali seorang pengidap kejiwaan terhadap lingkungannya akan membantu dia membangun kontak sosial.

Adaptasi bukanlah hal yang mudah untuk pengidap kepribadian sosiopathy. Mereka yang cenderung introvert dan menyukai kegelapan akan sukar berbaur dengan masyarakat luar. Sekalipun bisa, mereka hanya muncul ketika sisi buruk dalam dirinya haus akan kepuasan batin. Mereka akan melanggar bahkan merusak benda maupun fasilitas yang tampak menarik di matanya.

Libra melirik Sabel sebentar, dengan sabar dia mearik tubuh Sabel untuk sejajar dengan posisinya saat ini. Menunduk, manik hitam itu menyorot intens wajah putih Sabel yang sedari tadi hanya menunduk takut.

Ingin rasanya Libra menarik dagu Sabel agar gadis itu mau mengangkat wajahnya, tetapi hal seperti itu bukanlah haknya. Dia ini hanya seorang psikolog pesanan yang bertugas menyembuhkan mental seorang gadis yang mengalami gangguan. Lain halnya jika dia memang memiliki hubungan khusus dengan pasiennya ini.

Mungkin hal seperti itu terdengar sepele. Akan tetapi, yang dihadapinya saat ini bukanlah seseorang dengan tingkat mental yang normal. Dan ini akan sangat mempengaruhi pola pikirnya.

"Jangan takut, mereka tidak akan menyakitimu," gumam Libra masih menatap wajah Sabel yang menunduk dalam. Tidak ada jawaban, gadis itu masih menunduk takut. Jemarinya semakin kuat meremat ujung pakain Libra.

"Baik, coba banyangkan ketika kamu pergi ke suatu tempat yang sangat indah. Bayangkan betapa banyaknya rerumputan hijau yang menari mengikuti alunan angin. Dan, bayangkan ketika orang-orang tersanyangmu sedang tertawa lepas menyambut kebahagiaan yang menghampiri." Libra menatap Sabel yang mulai memejamkan matanya. Perlahan rematan jemari itu menggendur.

Ayah, Aku Bukan Sosiopathy! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang