Aqhela beralih pada pamannya itu. Ia sebenarnya begitu muak melihat wajahnya, Aqhela ingin berteriak di depan wajah pamannya itu. Namun, lagi-lagi ia harus menekan semua tindakan brutal itu. Ia menyalami Bram. Lalu cepat-cepat berbalik dan masuk ke taksi sebelum dadanya semakin sesak. Jangan sampai pertahanannya runtuh, ia harus kuat.

Benar saja, saat taksi melaju ia langsung menumpahkan segalanya. Ia tak peduli sopir taksi itu akan menatap aneh penuh tanda tanya atau tidak. Ia tak bisa lagi menahan sesak yang ia rasakan dari semalam. Ia begitu hancur.

***

Aqhela melangkah lunglai memasuki rumah, di ruang tengah ada Hanna yang sedang sibuk dengan kertas-kertasnya. Fokusnya beralih saat melihat Aqhela pulang.

"Eh, anak Bunda udah pulang." Hanna tersenyum, sejurus kemudian keheranan. "Lho, kok kayak habis nangis, ada apa?"

Ditanya seperti itu membuat Aqhela yang sudah payah meredakan tangisnya jadi ingin menjatuhkan bulir-bulir itu lagi. Hanya gelengan yang bisa menjadi jawaban.

"Qhela cuma capek."

Ia langsung berjalan masuk ke kamarnya, mengunci diri. Aqhela merebahkan tubuhnya, ia mengambil ponsel. Menelpon seseorang.

"Hmm?" jawab Andre yang ada di ujung sana.

Aqhela tidak menjawab, ia terdiam cukup lama. Kemudian menangis, isaknya pelan-pelan menjadi keras. Ia tak sanggup berkata-kata.

"Kamu nangis?" Andre terdengar panik. "Coba tenangin diri dulu."

Ucapan Andre malah membuat gadis itu makin menangis, Andre sama sekali tak tahu apa yang salah. Ia tidak bisa menghibur Aqhela. Itu sama sekali bukan keahliannya.

Ia terdiam, membiarkan Aqhela menumpahkan segala yang mengganjal di hatinya. Ia setia mendengarkan tangisan pilu dari Aqhela. Mendengar itu membuat hatinya juga ikut teriris, apa yang sebenarnya mengganjal di pikiran gadis itu? Pasti sangat berat.

Setelah puas menangis. Gadis itu menghela napas untuk menenangkan diri. "Aku enggak tahu apa bakal sanggup buat lanjutin kasus ini, Ndre."

"Kenapa?"

Aqhela terdiam. Tubuhnya lelah untuk sekadar menjelaskan saja. Ia memutuskan panggilan, hatinya belum siap menjelaskan semuanya.

Ia mengambil posisi tengkurap, membenamkan wajahnya ke bantal. Ia benar-benar frustrasi saat ini. Sampai-sampai wajah gadis itu sudah seperti mayat hidup.

Bunyi meongan terdengar, tentu saja itu ulang ponsel Aqhela. Gadis itu meraih ponsel yang ditindih tubuhnya. Melihat nama yang ditampilkan pada layar. Andre.

Aqhela menolak panggilannya. Ia lalu mematikan ponsel itu. Kembali membenamkan wajah ke bantal. Ia lelah, tubuhnya butuh istirahat. Semalam ia terjaga karena mengetahui fakta itu.

***

Aqhela terbangun karena sebuah ketukan, ternyata hari sudah gelap. Ia berjalan ke arah pintu kamar, membukanya. Namun, tak ada siapa-siapa di depan pintu. Lalu, dari mana asal ketukan itu?

Suara ketukan itu terdengar lagi, ternyata dari arah jendela. Aqhela mengernyit, siapa yang mengetuk jendelanya? Apa jangan-jangan hantu?

Ia dengan hati-hati berjalan mendekat, menyibak kain gordennya. Wajah Andre langsung muncul di sana membuat Aqhela terkejut. Gadis itu mengusap wajah tak habis pikir, apa yang dilakukan lelaki itu di sini?

Aqhela membuka jendela. Andre langsung masuk lewat sana tanpa dipersilakan.

"Kamu enggak apa-apa?" Ia memegang kedua pundak Aqhela, wajahnya terlihat cemas. Gadis itu mematung, aneh dengan tingkah Andre. Biasanya lelaki itu tak mempedulikan apapun.

Andre menggoyangkan salah satu tangannya di depan wajah Aqhela. Membuat gadis itu gelagapan karena malah terdiam.

"Eng-nggak apa-apa kok. Kamu ngapain di sini?" Aqhela malah panik kalau-kalau Bundanya tahu Andre masuk ke kamarnya.

"Khawatir."

"Sama aku?" Aqhela memastikan. Ia salah dengar, 'kan?

"Iya."

Darahnya berdesir aneh, jantungnya memacu lebih cepat seolah-olah akan melompat dari tempatnya. Ia merasa wajahnya memanas. Kepalanya spontan menunduk.

Andre mengangkat dagu Aqhela, menatap mata sembab yang ada di hadapannya itu.

"Jangan menangis, sudah saya bilang saya enggak suka lihatnya."

Aqhela sangat tidak percaya kalau yang ada di hadapannya sekarang adalah Andre. Kalau pun ia Andre, mungkin lelaki itu sedang kerasukan.

Perlakuan Andre itu membuat ia kehilangan kata-kata, ada perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa lebih baik.

Aqhela mengangguk mengiyakan.

"Qhel, Bunda masuk ya?"

Kedua manusia itu matanya membola panik. Andre langsung memanjat jendela. Belum sempat ia melompat keluar pintu kamar telah dibuka oleh Hanna. Aqhela yang panik spontan mendorong Andre tanpa peduli lelaki itu terjungkal hingga menabrak kerasnya tanah. Gadis itu menutup jendela dengan kasar dan langsung berbalik.

Hanna berjalan mendekat dengan membawa segelas susu. "Lagi ngapain, Qhel?" Ia meletakkannya di meja belajar.

"Eh, itu ... Cuma nyari udara segar, Bunda," ucap Aqhela gelagapan.

"Tapi tadi kayak ada suara gitu." Hanna maju untuk memeriksa jendela.

Andre yang masih ada di sana merapatkan tubuh ke tembok rumah, berusaha menyembunyikan dirinya. Gawat kalau sampai ketahuan, bisa-bisa Hanna berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Kenapa pula ia memilih mengendap-endap menemui Aqhela? Padahal ia bisa bertamu dengan sopan.

"Enggak ada apa-apa kok, Bun," sergah Aqhela merentangkan tangannya. "Hmm, Qhela mau video call sama temen-temen buat bahas acara liburannya. Qhela udah telat, enggak enak sama temen-temen."

Ia menuntun Hanna keluar dari kamar, untung Bundanya nurut saja tanpa protes. Aqhela langsung mengunci pintu. Ia menepuk jidatnya kenapa lupa mengunci pintu tadi. Hampir saja.

Ia langsung berlari ke arah jendela, membuka jendela itu. Andre berdiri dari posisinya.

Aqhela terkekeh merasa tak enak. "Hehe, maaf."

Andre memasang wajah datar, baju serta wajahnya penuh dengan tanah. Kacau.


























[Keep Smile 😊]

Second Love : Aku atau Masa Lalumu!Where stories live. Discover now