#1 Sebuah Film Pembuka

28 9 8
                                    

AKHIR Oktober di tahun 2015 yang sedang panas-panasnya. Koridor sekolah tampak ramai karena sekarang adalah jam istirahat. Kebanyakan siswa berada di luar kelas, bergerombol di sana sembari berceloteh hingga berteriak-teriak bergurau satu sama lain. ARDANI MAHESA—atau yang biasa dipanggil Dan—bersama dua temannya; Bimo dan Agus berjalan pelan di koridor lantai satu itu. Mereka bertiga memang sengaja mengambil jalan memutar untuk menuju ke kantin, padahal di sebelah ruang kelas mereka ada tangga yang langsung terhubung ke depan pintu kantin itu. Entah beralasan apa, namun pikiran ketiganya mungkin sudah saling terkoneksi.

Lantai satu di gedung tengah sekolah berisi jejeran kelas jurusan Akuntansi, yang mana jurusan itu dipenuhi oleh siswi perempuan. Banyak sekali yang menyapa mereka. Entah hanya memanggil nama (yang langsung mereka balas dengan ramah dan sedikit godaan, Agus yang paling mahir soal ini), bertanya soal ini-itu, membuat mereka harus berhenti sesering mungkin.

Sekali lagi mereka bertiga berhenti karena Bimo ditanyai perihal template presentasi oleh seorang siswa kelas 12 Akuntansi. Dan mencoba menerka-nerka, tak mengenal siapa perempuan itu, atau siapanya temannya. Ia hanya melihat dari warna merah dari bed persegi panjang yang ada di atas sakunya. Di sekolah ini siapa pun bisa tahu seorang siswa ada di kelas berapa hanya dengan melihat warna bed yang tertempel di atas saku seragam. Kuning untuk kelas 10, biru untuk kelas 11, dan merah untuk kelas 12. Dan masih bingung kenapa seorang kakak kelas menanyakan perihal template presentasi pada temannya, padahal mata pelajaran soal aplikasi presentasi pasti sudah orang itu dapatkan dua tahun lalu di sekolah ini. Google pun berlimpah punya jawaban. Sudah jelas Mbak ini hanya modus, mungkin ia naksir salah satu dari kita, pikir Dan. Tapi ia tak tertarik sedikit pun untuk ikut nimbrung dengan Bimo bahkan Agus yang akhirnya malah berdebat berdua. Mereka hanya punya waktu tiga puluh menit untuk istirahat sebelum melanjutkan praktik fotografi di studio multimedia.

Dan sudah berniat meninggalkan dua kawannya itu untuk berlalu ke kantin, namun saat ia menengok ke arah salah satu ruang kelas di hadapannya, sekilat wajah yang tak ingin dilihatnya muncul. Orang itu berdiri di depan pintu kelasnya. Dia memang sengaja berdiri di sana karena ia tahu Dan pasti akan melewati koridor ini saat jam istirahat. Pandangannya tertuju lekat pada Dan. Mereka saling menatap lama walau dalam diam. Dan mengeluh dalam hati: Halah, cah iki meneh! Ia urungkan niat untuk melangkah duluan. Dan mencoba menghindari perempuan itu.

Namun sialnya kedua temannya yang ia anggap bodoh itu malah menyudahi percakapan mereka dengan Si Mbak-mbak akuntansi. Mereka berburu menarik Dan untuk pergi dari sana sebelum menyadari perempuan itu ada beberapa meter di depan mereka. Begitu Bimo dan Agus sadar ada dia di sana, langkah kaki mereka berhenti. Ada suasana canggung yang menyerebak. Dan tahu mereka sangat ingin menggodanya, dan juga dia. Mengejek soal hubungan keduanya yang baru saja berakhir. Namun Dan segera berjalan kaki duluan, meninggalkan Bimo dan Agus dengan celoteh yang ditahan-tahan. Sekejap Dan dapat melihat raut wajah sok sedih perempuan itu, namun Dan melewatinya dengan wajah tertekuk. Ia kesal.

"Dan..."

Perempuan itu memanggil namanya. Ngapain juga dia memanggilku? Tolonglah, aku muak. Dan tak ingin berbicara lagi dengannya. Namun, lebih sial lagi, perempuan itu malah berjalan ke arah Dan. Hendak menghampiri. Dan berusaha mempercepat langkah, kabur dari dia dan suaranya yang tetap memanggil namanya. Terdengar juga suara sepatu Bimo dan Agus yang berusaha mengejar Dan. Namun, di tangga menuju pintu kantin, Dan tersontak terkejut...

"Hei, Dan!"

Langkah Dan langsung terhenti saat tiba-tiba seseorang muncul di hadapannya. Hampir saja Dan menabraknya. Baru ia sadari, itu adalah Nadia, si filmmaker kebanggaan sekolah.

Dan & NadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang