Andrianto bangkit dari kursi dan tersenyum pada Arya. "Terima kasih Pak, dan sekali lagi saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Bapak." kata Andrianto pada Arya.

Arya hanya tersenyum tipis. "Kamu adalah orang pertama yang mengucapkan selamat,"

"Oh ya, Pak. Selamat," kata Davy singkat.

"Thanks, Davy."

Andrianto dan Davy keluar dari ruangan Arya, sementara Tascha masih membereskan hasil presentasinya tadi dengan wajah sumringah.

"Nggak nyangka, sekali presentasi langsung approve. Beda banget sama Pak Andrianto, dia malah berpikir berulang kali." kata Tascha pada Arya.

Arya mengangkat alisnya. "Mereka hanya skeptis dengan ide kamu. Kamu seorang produser, harusnya bisa lebih kuat berargumen pada mereka."

"Pak, kalau argumen saya semudah itu mungkin saya dan Pak Andrianto nggak butuh debat lama-lama soal program baru saya." kata Tascha sambil memeluk laptopnya. "Oh ya, ngomong-ngomong calon istri Bapak kan kreatif dari Menajam Langit, ya?"

Arya mengangguk, ia tahu betul siapa yang Tascha bicarakan. "Hm, lalu kenapa?"

Tascha tersenyum penuh arti. "Kalau saya boyong calon istri Bapak jadi tim kreatif saya boleh, nggak? Calon istri Bapak kan sudah bekerja dengan Hamid terlalu lama."

Arya mengibaskan tangannya mendengarkan ocehan Tascha. "Nggak, seenaknya saja kamu. Sudah menikah dia akan resign, untuk apa istri pemilik FGM bekerja di kantor suaminya?"

Tascha mengangguk membenarkan. "Benar juga, harusnya dia jadi Nyonya besar saja duduk di rumah."

"Hm, kalau kamu sudah tahu jawabannya tolong keluar dari ruangan saya, karena sebentar lagi teman saya akan datang, Tascha."

"Gue sudah datang, Ya." kata Marshall yang baru saja memasuki ruangannya.

Arya meneliti pakaian Marshall dari atas hingga bawah, siapapun yang melihatnya bisa menebak kalau Marshall adalah seorang pembalap. Lihat saja, betapa kerennya jaket kulit yang Marshall pakai membuat Arya ingin menyeret pria tukang cari perhatian itu.

"Setahu gue lo tukang ngaret, gue nggak minta lo buat datang cepat, Mar." sindir Arya pada Marshall.

Marshall membuka jaket kulitnya dan menyimpannya di bahu sofa. "Gue datang cepat salah, lambat salah. Memang ya, emosional orang yang mau nikah kadang-kadang nggak bisa di kontrol."

"Kok bawa-bawa nikah segala? Lo ini semakin lama nyebelin banget sih, Mar." timpal Arya.

Marshall menggidikkan bahunya acuh. "Lo yang jatuh cinta, bukan gue. Jadi dimana si Fazan?"

"Belum sampai," jawab Arya, lalu Arya melihat Tascha yang masih diam di tempatnya. "Tascha, apa kamu tidak akan keluar?"

Tascha terkejut dengan pertanyaan Arya, sempat-sempatnya ia meneliti pembalap motor dunia si Marshall yang sangat.. "Oh, ini saya mau keluar, Pak."

Marshall kini menoleh menatap Tascha dengan heran. "Selingkuhan lo?" tuduh Marshall.

Arya rasanya ingin memukul kepala Marshall. "Dimana otak lo ketika lo bilang dia selingkuhan gue? Andrea satu kantor sama gue!"

Tascha kini melirik Marshall penuh sarat kebencian. "Astaga.. Sabar ya Pak Arya, temannya barangkali memang nggak waras, coba bawa ke RS Jiwa."

Marshall membulatkan matanya, mendengarkan penuturan gadis asing itu membuatnya kesal. "What did you say?"

Arya berdeham dan kini berdiri diantara Tascha dan Marshall. "Keluar, Tas."

"Baik, Pak." jawab Tascha patuh, ia pergi meninggalkan ruangan Arya secepat mungkin.

The Player VS The Playing | TAMAT✔Where stories live. Discover now