[18] Reality

14 3 0
                                    

Ingin ku putar waktu, tidak adanya kehadiran dirimu di hidupku membuatku rindu. – Arka.

***

Arka terbangun dengan keadaan rumahnya yang kembali sepi. Seperti biasa, mama dan papanya hanya ada beberapa hari saja dirumah, sebelum akhirnya pergi kembali ke Jogja dan tinggal di rumah eyang uti-nya.

Beberapa hari ini, Arka semakin dihantui dengan mimpinya. Bahkan beberapa kali ingatan itu selalu terlintas di pikirannya. Perasaan Arka semakin kalut ketika mengingat keadaan Alterra kemarin.

Semuanya semakin kacau akhir-akhir ini baginya.

Keterdiaman papanya. Kehidupan keluarga Alterra yang mengejutkannya. Mimpi buruknya yang selalu menghantui. Semua hal itu membuatnya frustasi. Bahkan ia belum berbicara kembali dengan Rangga mengenai hubungannya dengan Alterra.

Arka merasa ia harus menghentikan pikiran kacaunya. Maka, ia bersiap untuk ke apartment Meera dan menghabiskan waktu disana bersama teman-temannya yang lain.

***

Arka membunyikan bel apartment Meera setelah membawa sekantong makanan yang akan digunakannya untuk amunisi movie marathon. Ia sudah yakin jika ibu hamil satu ini pun akan menyukai pilihan snack yang ia bawa. Karena beberapa kesukaan mereka memang sama.

Meera membukakan pintu dengan wajah semringah. Ia menatap kantong yang ada di tangan Arka dan membiarkan Arka masuk ke dalam apartmentnya.

"Lu gak kerja, kan ?" tanya Arka sembari masuk kedalam.

"Ya, enggak lah ! Ini kan minggu!" jawab Meera langsung mengambil kantong camilan yang dibawa Arka.

"Kali aja lu workaholic. Kebiasaan lu dari dulu kan begitu. Mau kata minggu juga dihantam bebas." Ejek Arka.

Matanya menoleh kearah Meera yang sudah mengaduk–aduk isi kantong makanannya, "Kita Movie marathon, yuk. Nanti yang lain nyusul." Ajaknya.

"Lu kenapa? Patah hati?" Meera duduk di sofa bersebelahan dengan Arka.

"Kagak. Lebih parah dari sekedar patah hati ini." jawab Arka seadanya.

Arka terkejut melihat seorang pria dengan perawakan 'non – indo' ada di hadapannya dan Meera dengan mata yang menatap nyalang. Pria yang tengah berdiri itu mencoba menegur Meera dengan berdeham beberapa kali yang semakin terdengar di sengaja.

Arka baru saja ingin membuka mulutnya untuk bertanya, namun suara Meera membuatnya bungkam dan langsung mengerti akan situasi yang ada.

"Kamu sudah selesai kan' disini? Kalau sudah, kamu bisa pulang ke rumah paman kamu. Aku dan teman–temanku ada acara."

"Aku diminta menemani istriku. Jadi, tugasku belum selesai."

Arka hanya dapat melongo memperhatikan dua pasutri yang saling 'acuh tapi butuh' menurutnya. Ditambah dengan sikap suami Meera yang terlihat cuek namun pencemburu. Ah, harusnya ia tidak datang kali ini. semua ini malah membuatnya semakin terlihat bersalah dan canggung.

"Meer, kok dia bisa ada disini? Bukannya kalian udah mutusin tinggal masing-masing." tanya Arka yang membuat Meera tidak jadi menyusul Zyan.

"Tau, ah! Pusing gue." Sungut Meera lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. "Lu tadi mau cerita keknya. Eh, iya gak sih?"

Arka mengendikkan bahunya acuh, "Nanti aja. gampang itu."

Tak beberapa lama kemudian, teman-temannya akhirnya berkumpul. Namun ada satu sosok yang membuat Arka mengerutkan dahi bingung. Adalah Bumi yang juga ikut serta dalam acara kumpul mereka kali ini.

"Muka lu kenapa asem banget, Meer ?" ucap Celine yang langsung duduk dan mengambil remote tv. Sementara yang lain sibuk dengan judul film yang akan mereka tonton.

"Itu manusia kenapa ikutan kesini?" tanya Arka pada Candy yang disambut dengan bahu terangkat dari gadis itu.

"Dia tau gue mau kesini, makanya mau ikut juga." Jelas Reya. Sementara Arka hanya mengangguk-angguk.

"Gimana cewek lu waktu itu? lancar?" tanya Candy. Namun, baru saja Arka ingin menjawab setelah menghabiskan tegukan cola miliknya, suara ketus milik Meera membuatnya tersedak.

"Lu kenapa liatin gue?!"

"Ibu hamil satu ini gak bisa nyantai ya kalo ngomong. Heran gue." Keluh Arka sembari menenangkan hatinya, sementara teman-temannya yang lain hanya tertawa melihat Bumi yang salah tingkah karena sikap ketus dari Meera.

"Jadi, gimana cewek lu? Udah ada perkembangan belum?" tanya Candy, lagi. Kali ini, Arka menjawabnya dengan gelengan.

"Persoalannya bukan masalah jatuh cinta dulu, Ndy. Ada hal yang lebih parah dari itu."

"Trauma lu?" tanya Celine yang kini ikut menimbrung. Arka mengangguk mengiyakan.

Celine mengambil ponselnya dan mengirimkan kontak ke roomchat-nya bersama Arka.

"Gue kirim akun instagram yang bisa lu tanya-tanya masalah trauma gitu. Dia ngerti masalah psikologis. So, coba aja." ucap Celine.

Arka hanya mengangguk pasrah dan duduk di sofa dengan sekaleng cola di tangannya.

"ZYANNNNN......," teriak Meera sebelum dirinya menghilang masuk ke kamar.

Celine, Candy dan Reya sontak menatap Arka seolah bertanya mengenai keadaan yang mereka lihat saat ini. Arka menghela nafas dan mengendikkan bahunya sekilas.

"Gak tau! Pas gue dateng, suaminya Meera udah ada disini. Gue aja kaget. "

Kini mereka dapat mendengar semua cacian Meera dan juga suaranya yang semakin meninggi. Sebelum keadaan menjadi lebih chaos, Celine berinisiatif mengajak mereka semua untuk pulang dan meninggalkan Meera bersama suaminya.

***

Arka tahu, ia sangat bodoh. Mengapa dirinya harus berhenti di depan rumah Alterra saat ini? ketika dirinya sendiri memiliki banyak pertanyaan untuk tubuhnya. Arka menghela nafas panjang namun merasa lega. Setidaknya Alterra tidak sedang membuka pintu rumahnya. Sehingga ia tidak perlu membuat gadis itu merasa bersalah dengan menatapinya.

Arka memutar balik motornya dan melaju menjauh. Ia harus segera menyelesaikan traumanya jika ia ingin kehidupannya berjalan baik kembali. Setidaknya, itulah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan.

***

Arka merebahkan tubuhnya di lantai studio. Ia tidak ingin pulang kerumahnya yang sepi dan juga studio hanya diisi dengan anak-anak band yang mengisi program music. Maka, setelah mereka selesai mengisi acara, Arka masuk ke dalam studio dan merebahkan dirinya dengan selimut kesayangannya.

Ia membuka akun yang disarankan oleh Celine dan menemukan banyaknya informasi mengenai psikologis yang dapat ia gali lebih dalam. Setidaknya, masalah psikologi itu harus berhubungan dengan keadaannya.

Arka memutuskan menekan kontak yang ada. Ternyata seseorang dibalik akun ini juga menerima konsultasi via telepon. Maka dari itu, Arka menekan tombol dial hingga suara telepon tersambung di seberang sana.

"Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"

Arka sedikit berdeham. Tiba-tiba dirinya merasa gugup ketika mendengar nada suara rendah khas pria berumur di seberang sana.

"Apakah benar, ini dengan Dokter Oliver?" tanya Arka.

"Benar. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Pertanyaan kembali datang dan Arka kali ini siap untuk mendapatkan jawaban dari segala mimpi buruknya.

"Saya ingin berkonsultasi mengenai masalah mimpi buruk saya yang menghantui selama beberapa tahun ini dan itu semua berkaitan dengan kejadian kecelakaan yang saya alami."

"Baik. Kalau boleh tahu, apa yang memicu ingatan dan kenangan buruk yang anda alami?"

"Saya membunuh seseorang ketika itu terjadi."

TBC

Arka's ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang