"Kamu tahu kalau Ibu tidak suka, bukan? Kamu keras kepala sekali. Ibu ingatkan lagi, jangan mentang kamu tinggal sendirian dan tidak Ibu awasi, kamu berubah menjadi seenaknya."

"Nggak, Bu. Andrea janji, Andrea bakal jaga diri dan jaga perilaku." ujarnya meyakinkan sang Ibu.

"Memang harus sepeti itu. Jakarta kota besar, dan kamu belum tahu bagaimana sifat dan karakter orang-orang di sana."

"Mereka baik, Bu. Andrea sudah menemukan teman yang baik namanya Kaia."

"Terserah, Ibu nggak mau dengar."

Ya, namanya juga Ibu. Jika marah tidak marah, mengomel dengan rasa gengsinya yang besar. Andrea seakan sudah kenal dengan baik karakter Ibunya. "Makasih ya, Bu.. Karena berkat doa Ibu juga Andrea jadi bisa punya kerjaan bagus."

"Hm ya sudah, jangan banyak keluyuran dan makan yang banyak. Ibu akan transfer uang untuk kamu."

Lihat, kan? Ibunya tidak akan pernah tahan lama-lama marah padanya. "Nggak usah, Bu, Andrea kan nanti dapat gaji—"

"Nggak usah belagu begitu, kalau kamu sudah menikah dan jadi tanggungan suamimu, baru kamu bicara seperti itu pada Ibu."

Andrea tersenyum sekali lagi. "Makasih ya, Ibu.. Already miss you, Bu.."

"Ya, ya sudah sana cepat makan dan tidur! Biar kamu nggak telat besok kerja." perintah Ibunya sekali lagi.

"Iya, Bu.. Makasih ya, Bu. Karena Ibu.. Ternyata, sudah nggak marah lagi sama aku." kata Andrea malu-malu sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

Andrea merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menyetel AC hingga suhu terendah. Jakarta panas, dan Andrea cukup kesulitan karena harus beradaptasi dengan udara yang panas itu.

Lalu ia melihat bahan masakan yang ia punya. Tahu putih, bakso, sawi hijau, cabai dan daging sandung lamur yang ia beli di pasar. Ah, ya selagi ada bahan, ia harusnya bisa memanfaatkannya, bukan? Andrea harus belajar menghemat, setidaknya itu yang ia pikirkan kini.

...

...

"Astaga?! Jadi kamu masak, Ndre? Padahal aku mau ajak kamu jajan seafood di warung tenda depan." kata Rani dengan gaya bibir bebeknya itu.

Andrea hanya tersenyum sambil membetulkan kacamata besarnya yang melorot. "Kamu makan saja di sini, jangan banyak beli, Ran. Ingat, harus hemat!"

"Dih, gajimu itu nanti pasti besar, Ndre. Kalau kamu hidup hemat seperti ini, aku yakin kamu nggak akan bisa menikmati masa muda dengan baik. Kita ini di Jakarta, Ndre! Jakarta!" omel Rani sekali lagi.

"Iya aku tahu, kita di Jakarta! Maka dari itu, kita harus berhemat, Ran." balas Andrea.

Rani berdecak malas, namun gadis itu sudah nangkring saja di ranjang Andrea sambil menunggu Andrea yang tengah menyajikan bakso buatannya.

"Ini kamu buat sendiri?" tanya Rani.

Andrea mengangguk. "Cuman bikin kuah baksonya aja, sih. Coba cicipi, enak nggak?"

Rani mengambil sendok dan mencicipi kuah panas bakso yang Andrea hidangkan untuknya. Jangan ditanya soal rasa, Andrea memang pandai memasak, seperti Ibunya. Rani tahu betapa hebatnya Andrea jika sudah berada di dapur.

"Masakanmu selalu enak, Ndre. Kalau gini caranya, mending kamu cari cowok tajir dan nikah saja lah, Ndre." cetus Rani dengan enteng.

Andrea menggelengkan kepalanya heran mendengarkan ucapan Rani. "Selalu seperti itu ya, Ran. Padahal kamu ingat, tujuan kita ke sini buat cita-cita dan bekerja."

The Player VS The Playing | TAMAT✔Where stories live. Discover now