06 👑 SIHIR

125 49 3
                                    

Seorang pria masuk ke dalam ruangan, dan mendapati Krystal yang tengah duduk di atas kasur. Ia mendekati Krystal dan mencoba berbicara padanya. "Bagaimana keadaanmu?" Namun ditunggu beberapa saat, tak ada respon juga. Pria itu mengerutkan keningnya. Ada yang salah dengan Krystal.

Berulang kali ia memanggil nama Krystal. Namun sang empu tak kunjung menjawab. Krystal hanya terdiam dan menunduk saja. "Oh ayolah," Ia kemudian sedikit mendorong tubuh Krystal. Tubuh Krystal langsung terjatuh. Pria itu terkejut. Tubuh Krystal sekaku batang pohon! Namun matanya masih bergerak-gerak.

Pria itu seketika panik. "Astaga!" Ia sekali lagi menggerakkan tangannya di depan mata Krystal. "Ini buruk," gumamnya.

"Ada apa, Edward?" tanya Arthur yang baru saja memasuki ruangan.

Edward menatap Arthur dengan putus asa. Arthur mengerutkan kening dan melihat ke arah Krystal. Ia terkejut dan kembali mengarahkan pandangannya ke arah Edward. "Dengar, kita harus merahasiakan ini dari George. Jika dia tahu, maka dia akan sedih." ucap Arthur pelan. Edward mengangguk dan meletakkan kembali Krystal ke atas tempat tidur. Kedua pria itu pun lantas keluar dari ruangan.

George yang sedang menunggu di luar langsung menghampiri mereka ketika kedua pria itu keluar dari ruangan. Wajah George nampak khawatir dan kusut. "Bagaimana keadaan Krystal?" tanya George khawatir.

Edward dan Arthur saling berpandangan. Edward menghela napas berat. "Krystal ...."

"Dia baik-baik saja," potong Arthur. "Kau tak perlu khawatir, Edward menjaga Krystal dengan sangat baik." tambah Arthur.

Edward menatap George dan tersenyum paksa. George mengerutkan kening. "Aku akan memeriksanya sendiri," George melangkahkan kaki, hendak memasuki ruangan itu. Namun Arthur langsung mencegahnya. "Apa kau tak percaya kami?"

"Aku percaya pada kalian, tapi—"

"Kalau begitu tunggu saja di sini dan percayakan Krystal pada kami." ucap Arthur tegas. George menghela napasnya. Terlihat sedikit rasa khawatir dan putus asa pada raut wajahnya.

Edward menepuk pundak sahabatnya itu. "Tak perlu khawatirkan Krystal. Dia baik-baik saja, namun saat ini dia belum ingin bertemu denganmu."

"Kenapa?" tanya George.

"Dia ..." Edward menggantung kata-katanya, tak tahu harus berkata apa. Jika dia salah berbicara maka George akan tahu bahwa dirinya hanya membual. "Dia bilang dia lelah, dan belum ingin bertemu siapa pun. Biarkan dia beristirahat dulu." ucap Edward tenang.

Salah satu anak buah George menghampiri dia dan berkata bahwa di restorannya terdapat pelanggan yang mengamuk dan ingin bertemu dengannya. George menghela napasnya. "Ada-ada saja."

"Perlu kubantu?" tanya Arthur.

George menggeleng. "Tak perlu. Kau di sini saja bersama Edward. Bantu dia jika membutuhkan sesuatu. Aku akan kembali besok." Arthur mengangguk mendengar ucapannya. George lantas melenggang pergi meninggalkan kedua sahabatnya itu.

Edward memijit pelipisnya. Kepalanya terasa berputar. "Ternyata legenda itu benar," ucap Arthur kemudian. Edward menatap Arthur bingung. "Legenda itu ... Dewi Paradox—"

"Hentikan," potong Edward. "Hentikan omong kosongmu. Kau sama saja seperti George. Pintar mengarang dan membual."

Arthur mendecih. "Membual? Lalu apa yang baru saja kau katakan tadi kepada George, dasar pembual."

Edward menghela napasnya sekali lagi. "Kita sembuhkan dulu Krystal, lalu bahas masalah itu bersama-sama."

Edward kembali memasuki ruangan, diikuti oleh Arthur yang mengekor di belakangnya. Edward mengambil gelas kaca dan mulai membuat ramuan untuk menyembuhkan Krystal.

"Padahal kita hidup di zaman yang sudah maju dan kau masih saja menggunakan obat tradisional."

"Diam kau," Edward melirik Arthur. "Krystal terkena sihir dan tidak ada pabrik yang membuat obat penangkal sihir. Memangnya di zaman sekarang, siapa yang percaya sihir?"

Arthur menjawab, "Aku, George, dan kau mungkin?"

Edward terkekeh. Ia tak menanggapi jawaban Arthur. Tangannya mengaduk cairan yang berwarna biru pekat itu. Asap mulai muncul dari cairan tersebut. Edward menyebarkan asap itu ke seluruh tubuh Krystal, hingga membuat sang empu terbangun.

Jari Krystal bergerak dan matanya berkedut. Krystal akhirnya benar-benar terbangun. Edward dan Arthur memandang Krystal khawatir. "Kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?"

Krystal menggerakkan anggota tubuhnya. Tidak ada yang sakit. Bahkan kepalanya yang sempat terbentur beberapa hari yang lalu pun tak terasa sakit lagi. "Aku baik-baik saja, terima kasih."

Edward tersenyum dan mengangguk. "Dimana George?" tanya Krystal kemudian. "Aku harus bertemu dan berbicara dengannya."

"Dia baru saja pulang,"

Mata Krystal membulat. Ia kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya. "Aku harus bertemu dengannya."

Edward menahan lengan Krystal. "Ada apa? Lepaskan aku." ucap Krystal sambil menatap Edward bingung. Edward menatapnya penuh arti. Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Arthur.

Arthur menghela napas dan menepuk sofa yang ada di sampingnya. "Duduk di sini,"

Krystal menggeleng tegas. "Tidak ada waktu untuk beristirahat,"

"Kau baru saja sembuh, Krystal." ucap Edward pelan.

"Aku harus bertemu dengan George sekarang!"

"HENTIKAN!" bentak Arthur. Laki-laki itu menatap Edward kemudian beralih ke arah Krystal. "Jangan keras kepala Krystal. Duduk di sini dan dengarkan penjelasan kami dulu!" ucap Arthur tegas.

Krystal menghela napasnya. Arthur galak juga ternyata. Yah, tidak heran. Dari wajahnya saja sudah terlihat tegas. Edward duduk di depan Krystal dan menatap gadis itu lembut. Berbeda dengan Arthur, Edward mempunyai hati yang lembut. Lihat saja, laki-laki itu sekarang menatap cemas ke arahnya.

"Jangan berteriak kepadanya lagi, Arthur." ujar Edward.

"Tapi dia keras kepala!"

"Kubilang tidak, ya tidak! Apa kau mau kena kutukan?!"

Krystal mengangkat wajahnya. Ia tidak salah dengar 'kan? Kutukan? Apa maksudnya itu?

Lalu Krystal baru menyadari bahwa terdapat benda-benda aneh yang ada di sekelilingnya. Krystal mengamati satu per satu benda-benda itu. Sangat kuno dan antik. Krystal bisa merasakan unsur magis dalam benda-benda. Sebenarnya ada apa ini?

Krystal tak berani angkat bicara, kalau-kalau nanti Arthur membentaknya lagi. Edward menatap Krystal dan tersenyum tipis. "Tolong maklumi Arthur. Dia memang orang yang tegas, berbeda denganku. Katakan saja jika ada yang ingin kau ungkapkan. Kami tidak akan marah." ujar Edward.

Krystal melirik Arthur yang tengah menatapnya dingin. "Tapi Arthur ...." ucapnya pelan.

Edward menghela napas dan menatap Arthur. "Apa?" tanya Arthur ketika dirinya ditatap.

"Jangan menatapnya seperti itu. Kau membuatnya ketakutan."

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Kontrol lah ekspresimu itu!"

Arthur membuang mukanya. "Apa boleh buat, beginilah ekspresiku dari lahir."

"Kalau begitu tersenyumlah sedikit."

"Tidak mau."

"Lihat? Kau bahkan lebih keras kepala!" Edward mengakhiri percakapan karena mendengar suara tawa kecil. Krystal yang tak mendengar obrolan mereka lagi pun mengangkat wajahnya. Wajahnya memancarkan semburat merah. "Oh, maaf." ucapnya malu. "Kalian sangat lucu."

Edward melirik Arthur. Ia terkejut karena wajah Arthur sudah seperti kepiting rebus. "Oh, wajah Arthur memerah. Dengar, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu." goda Edward.

Arthur duduk di samping Edward sambil mengontrol ekspresi wajahnya. "S-sudahlah, aku sudah punya pacar tahu!"

Krystal terkekeh. "Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?"

- LUCKIEST GIRL ALIVE -

LUCKIEST GIRL ALIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang