07 👑 KEMBALI

116 43 1
                                    

"Apa kau tahu kisah dari jaman Yunani kuno?" tanya Edward hati-hati.

Krystal diam berpikir. Ia kemudian menggeleng dan bertanya, "Misalnya?"

"Kau tahu ... dewa-dewi Yunani kuno." Edward berkata pelan. Ia ingat bahwa George pernah berkata, kalau Krystal sangat sensitif jika diajak berbicara mengenai hal tersebut.

Krystal mengerutkan keningnya. Wajahnya sulit diterka. Dia terlihat marah, namun juga tidak. "Ya, lalu?" tanyanya.

"George pernah bilang padamu bukan, bahwa kau adalah salah satu Dewi itu."

"Oh ayolah," Krystal mengeluh. "Itu hanya dongeng! Aku tidak akan percaya pada hal-hal seperti itu. Kau itu pintar 'kan. Kau pasti bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya sebuah cerita."

Edward melirik Arthur yang sedang menghela napas berat. "Begini, aku juga tidak percaya dengan hal itu." ucap Edward kemudian.

"Baguslah."

"Tetapi melihat kondisimu sekarang, aku makin yakin bahwa kau-"

"Sekali lagi kau mengatakan itu, kubunuh kau."

"Sebelum kau membunuhnya, maka kau yang akan kubunuh lebih dulu!" ucap Arthur tajam. Dia benar-benar tidak suka pada Krystal yang suka berbicara seenaknya. Apalagi setelah mengetahui bahwa George menyukai perempuan seperti Krystal. Pening Arthur memikirkannya.

"Sudah, sudah." Edward menenangkan mereka berdua. "Krystal, aku serius."

"Aku juga," Nada bicara Krystal memelan karena ia sudah tidak tahan. Ia kesal dengan pembicaraan ini. Ia bingung, juga takut. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia seperti terjerumus ke dalam lingkaran setan. Semua orang ingin tahu apa yang sedang terjadi dan siapa dirinya yang sebenarnya.

Edward melepas kacamatanya memijit pelipisnya pelan. "Pulanglah," ucapnya.

"Apa?" Krystal bingung.

"Arthur, antar Krystal pulang." titah Edward lagi.

Arthur mengangguk dan berdiri. Ia berjalan dan mengambil kunci mobilnya di atas meja nakas. "Ayo pulang, kau akan kuantar."

Krystal berdiri dan mengangguk. "O-oke,"

Mereka kemudian keluar dari ruangan sesaat setelah Edward menghela napas panjang. Krystal berjalan beriringan dengan Arthur. Langkah mereka hampir sama sampai akhirnya Krystal melirik Arthur. "Apa?" tanya laki-laki itu.

"Tidak. Aku hanya baru sadar kalau kau setinggi ini jika berdiri."

Arthur hanya berdehem mendengarnya. Mereka akhirnya tiba di parkiran dan masuk ke dalam mobil. Arthur pada kursi kemudi, dan Krystal berada di kursi penumpang bagian depan. Laki-laki itu mulai menyalakan mesin mobilnya, namun tiba-tiba Krystal menjerit mengangetkannya.

"Ada apa?" tanyanya khawatir.

"Apa kau lihat itu? Tadi ... apa kau lihat?!" tanyanya panik.

"Lihat apa??" tanya Arthur penasaran.

Krystal memegangi kepalanya. "Apa hanya aku yang bisa melihatnya? Apa aku indigo? Tunggu, memangnya itu hantu?"

"Kau ini bicara apa?!" tanya Arthur lagi.

"Aku tadi melihat sesuatu, bukan, seseorang ... seorang wanita. Wajahnya mirip dengan mayat wanita yang ada di dalam patung itu."

Arthur terdiam. Ia berpikir keras. Wanita? Patung? Mirip? Apa ini ada hubungannya dengan 'itu'?

"Apa dia berbicara sesuatu kepadamu?"

Krystal mengangguk. "Ya! Ya! Dia berbicara kepadaku. Kubunuh kau, katanya."

* * * *

"Hubungi aku atau George jika ada masalah pada dirimu." ucap Arthur ketika mereka sampai di depan apartemen Krystal.

Krystal mengangguk dan melihat mobil Arthur mulai menjauh darinya. Ia kemudian menarik napas panjang agar merasa lebih tenang. Krystal mulai melangkahkan kaki, memasuki apartemennya. Tatapan tajam dari Ayahnya-lah yang menyambutnya pertama kali. Krystal meneguk ludah yang terasa seperti pasir.

"Dari mana saja kau? Apa kau tidak ingat rumah sehingga tak pulang?!" teriaknya. Krystal menunduk. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Ia tak ingin kena masalah, jadi dia hanya terdiam.

"Beberapa hari yang lalu, kau membawa luka di kepalamu, sekarang tanganmu lebam. Sebenarnya apa yang kau kerjakan di tempat kerjamu?!"

"Aku minta maaf," ucapnya. Tunggu kenapa jadi dia yang minta maaf? Dia terluka dan harus diobati, tapi kenapa dia dimarahi. Ah sudahlah, pikiran orang tua selalu saja out of the box. Seperti saya ini, Ayahnya mengira bahwa dia melakukan pekerjaan dengan tidak semestinya. Yah, seperti PSK(?)

Krystal menggeleng tegas. "Aku tak pernah melakukan itu, Ayah! Percayalah padaku."

Ibunya muncul dari dapur dengan celemek yang masih menggantung. Beliau menenangkan suaminya yang hampir marah. "Sudahlah, biarkan saja. Mungkin dia sibuk."

"Sibuk apanya. Krystal itu hanya pegawai restoran yang gajinya tidak seberapa!"

Oke. Kesabaran Krystal bagaikan tisu yang dibelah dua. Dia mulai marah dan berteriak, "Jika bukan karena gajiku, kalian tidak bisa menyewa apartemen! Aku bahkan tidak pernah berbelanja dengan teman-temanku. Kalian tahu apa? Aku lelah, Ayah! Aku lelah! Tak bisakah kalian mengerti itu. Belum lagi dengan dewa-dewi itu. Arghh," Krystal menggerutu.

Orang tuanya tak mengerti apa yang Krystal katakan di bagian terakhir. Dewa-dewi? Apa maksudnya itu? "Dewi? Apa kam—"

"Sudahlah Ibu, jangan mulai lagi. Aku lelah, aku ingin tidur!" Krystal berjalan melenggang menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras lalu segera berbaring di atas tempat tidur.

"Apa kau dengar apa yang Krystal bicarakan tadi? Jangan-jangan dia—"

"Tak usah dipikirkan. Dia akan tahu sendiri jika sudah waktunya." ucap Ayah.

Ibu Krystal menatap suaminya dengan khawatir. "Tapi aku tak berpikiran begitu. Aku rasa kita harus memberitahu yang sebenarnya."

"Tak usah. Krystal sudah besar dan dia pasti bisa mengatasi ini sendiri."

"Tapi—"

"Kita harus percaya pada anak kita, Istriku."

- LUCKIEST GIRL ALIVE -

LUCKIEST GIRL ALIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang