Sudah Diterima Dengan Baik

4 0 0
                                    

"Spada!"

"Spada! Halo, ada orang di sini?"

Aneh.... sudah hampir sepuluh menit aku berteriak terus-terusan kepada rumah di ujung jalan sepi ini. Tidak ada sahutan atau respon maupun kehidupan di sekitaran blok ini.

"Maaf mas, mas ini mencari siapa ya di blok ini?", sapa seorang kakek tua yang tiba-tiba berada di belakangku dengan memegang tongkat yang juga sama tuanya.

"Iya pak, saya sedang mencari orang yang hidup di rumah ini. Beliau memesan paket dari saya."

"Oh begitu, ya sudah, mas masuk saja dulu yuk. Saya yang memesan paket ini. Ayo mas, kita makan dulu." Ajak kakek tua itu sembari membukakan pintu rumah yang sudah beratus-ratus detik tidak dibukakan olehnya.

Jadi pak tua ini, dia adalah pelangganku. Tidak pernah aku menyangka kalau seorang kakek tua sepertinya bisa mengerti dan menggunakan Smartphone untuk melakukan pemesanan secara online.

"Ayo nak, masuk dulu. Kita duduk-duduk dulu aja, sembari ngopi-ngopi dulu."

"Oh iya pak. Permisi ya pak." Salamku sebelum masuk dan duduk di kursi sofa miliknya.

Ternyata di dalam situ terdapat beberapa orang pula yang telah duduk sebelumku. Wajah mereka berseri-seri, tersenyum damai sembari diam menunggu sang kakek membawakan makanan dan kopi yang dijanjikan. Sesekali mereka bertegur sapa dengan sesamanya dan membicarakan hal-hal personal yang tidak aku mengerti.

"Pak, sudah berapa lama ada di sini? Kok tadi saya teriak-teriak tapi bapak diam saja ga bukain pintunya?" Tanyaku dengan beribu-ribu rasa penasaran. Masa iya, di antara banyaknya orang-orang ini tidak ada yang mendengar teriakanku selain kakek tua itu.

Namun, yang kudapatkan hanyalah diam seribu bahasa. Mereka sepertinya hanya asik dengan sesamanya dan bahasan mereka. Seakan-akan aku memang orang asing yang baru saja datang ke dalam rumah mereka.

"Eh nak kurir, ayo sini nak dimakan dulu makanannya." Ajak si kakek tua itu sembari memberikan aba-aba agar diriku pergi ke arah dapur.

"Pak, kok ini orang-orang sudah saya ajak ngomong enggak ada responnya ya? Padahal saya ini jelas-jelas ngajak mereka ngobrol loh pak."

"Enggak apa-apa, nak kurir harus makan dulu biar segera diterima oleh mereka. Mereka mungkin gak mau nak kurir ini diajak ngobrol sama mereka sampai-sampai lupa makan dulu. Udah yuk makan dulu." Ajak kakek tua itu sembari menyiapkan banyak sekali makanan di sana. Nasi goreng, daging semur kecap, telur balado, dan banyak lagi makanan yang terhidang.

Aku yang sudah berjam-jam belum makan seketika menyambar segenap makanan yang tersedia di sana. Setiap lauk yang ada di meja makan itu aku ambil satu persatu dan ku taruh di atas piringku. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan makanan sebanyak ini jikalau aku hanya berpegang dari gajiku.

Rasa lapar yang bercampur dengan letih, menggerogoti tubuhku. Entah dorongan semacam apa, aku mulai makan layaknya seekor babi. Sesendok demi sesendok, aku makan semua nasinya terlebih dahulu beserta kuah-kuah yang tersedia. Tetapi, semakin banyak aku makan kuah dan nasi itu, aku merasa kalau tubuhku menjadi pucat dan rasa laparku semakin menjadi-jadi.

Aku tidak peduli. Dengan penuh nafsu, aku pun mencoba memakan lauk-lauk yang ada di sana. Sesuap daging semur masuk ke dalam mulutku dan HAP! Pendengaranku menghilang. Ku tidak bisa mendengar apapun yang dikatakan oleh kakek itu lagi, meskipun dia terlihat seperti masih tersenyum dengan lebar dan mengatakan beberapa kata di depanku.

Lalu, aku pun menyuap sebutir telur secara bulat-bulat dan HAP! Penglihatanku pun hilang.

Aku yang tersentak pun melempar piringku beserta semua komponen yang ada di atasnya. Aku mencoba berlari tetapi aku tidak punya kekuatan. Kakek itu pun menghampiriku.

"Nak kurir sudah sadar kan sekarang? Nak kurir ini sudah tidak seharusnya di sini. Paket terakhir nak kurir itu harusnya diserahkan kepada orang yang derajatnya lebih tinggi dari saya. Tetapi, terima kasih ya nak kurir, paketnya saya terima dengan baik."

Senyumannya mungkin sudah tidak terlihat di mataku tetapi aku bisa merasakan kalau senyum itu terpampang di wajah sang kakek tua. Seketika tubuhku merasa ringan dan aku bisa melihat kembali. Ada tangan dari seorang pria yang menghampiriku.

"Ayo aku antar, kawan. Tempat ini sudah tidak pantas untukmu." Ajaknya.

Aku pun menggenggam tangan orang itu sembari berjalan terus ke depan, meninggalkan tubuhku yang sudah penuh darah dan tidak berdaya di samping motorku. Setidaknya, paketku sudah diterima dengan baik.

Mirror On The DesktopWhere stories live. Discover now