ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᴰᵘᵃ

52 20 6
                                    

Aku merapikan alat-alat pemotretanku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku merapikan alat-alat pemotretanku. Oke, mungkin aku harus bertanya pada Tuhan kenapa aku dilahirkan dengan kadar kesialan yang sangat banyak? Lihatlah! Ini sudah hampir tengah malam dan langit mendung. Sangat susah menemukan taxi di jam-jam sepereti ini belum lagi peralatan fotoku yang sangat banyak. Benar-benar menyusahkan! Tidak ada satu orang pun yang lewat ingin membantuku.

Saat aku sedang sibuk memasukkan tripod ke dalam tasnya, rintik-rintik air turun dari langit dan semakin lama semakin deras. Tanpa pikir panjang, aku langsung memasukkan alat-alatku ke dalam tas besar dengan sembarang dan segera berteduh di salah satu minimarket yang ada di pinggir trotoar tempat aku memotret.

Huh! Kalau hujannya selebat ini, bisa-bisa aku tidak pulang sampai pagi. Kalau aku lari menerobos hujan, kameraku bisa-bisa rusak. Memang sih, aku masih punya tabungan untuk membeli kamera baru. Tapi tetap saja, kamera ini sudah menemaniku selama aku menjadi fotografer profesional. Mana mungkin aku bisa menggantinya begitu saja.

"Oh, apa yang kamu lakukan di sini?" seorang pria tinggi muncul dari balik pintu toko sambil membawa satu kantong besar yang kuduga bersisi makanan cepat saji dan sebuah payung.

Aku memalingkan pandangan malas. "Aku ada jadwal pemotretan," jawabku dengan nada ketus.

Pria yang tak lain adalah Agustus itu mengernyitkan dahinya kebingungan. "Apa sampai semalam ini? Kamu tidak pergi ke mana-mana kan, setelah pemotretan?" tanyanya penuh nada curiga

Aku membuang napas kasar. Pria bodoh yang tidak bertanggung jawab ini sama sekali tidak mengerti cara kerja seorang fotografer. "Apa aku terlihat seperti orang yang suka bersenang-senang, hah? Aku sangat sibuk, setelah aku selesai aku akan pulang untuk mengedit foto dan tidur tapi hujan sialan ini tidak ingin bekerja sama!" gerutuku.

"Tapi, apa pantas seseorang menyewamu di laut malam seperti ini?" tanyanya lagi.

"Tentu saja lebih pantas daripada orang yang membatalkan jadwal pemotretan seenaknya," jawabku bermaksud untuk menyindir pria yang berdiri di sampingku ini.

Ia menghela napas pasrah. "Pakailah payungku, pemotretanku akan dilaksanakan besok jam sembilan pagi. Jangan sampai terlambat," katanya.

Aku tersenyum sinis sambil menatapnya tidak percaya. "Anda berusaha bersikap baik padaku, Tuan? Pakai saja payungmu, aku akan membelinya di toko. Dan, seharusnya aku yang mengingatkanmu. Kali ini, jika Anda tidak bertanggung jawab, aku tidak segan-segan memotong kepalamu!" ancamku lalu melangkah hendak masuk ke dalam toko namun ditahan olehnya.

"Payungnya sudah habis terjual, ini payung terakhir. Makanya aku memberikannya padamu. Apartemenku hanya diseberang jalan, jadi aku bisa berlari dengan cepat. Hujannya mungkin akan bertahan lama. Aku tidak mau kamu terlambat besok jadi, pakailah payungku," jelasnya panjang lebar lalu memberiku payungnya dan pergi.

***

Sekitar pukul satu malam, aku tiba di kamar kosku. Ya, sudah kubilang sebelumnya aku hanya tinggal di tempat kos super murah yang hanya seluas 3 × 3 meter. Aku sudah tinggal di sini lebih dari empat tahun. Ingin kugambarkan bagaimana ruangan kecil ini? baiklah, aku akan menggambarkannya.

Jadi, di kamar ini tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu raungan beserta dapur. Sedangkan setiap orang yang tinggal di sini menggunakan kamar mandi umum yang terletak di setiap lantai. Ruangan kecil ini bisa dibilang kosong, hanya ada satu koper tempat aku menyimpan semua bajuku, satu laptop, serta peralatan pemotretanku, dan sebuah foto yang terpajang di dinding. Di dapur juga sama. Hanya ada kompor dan kulkas yang disediakan pemilik kos. Tapi, aku sama sekali tidah pernah menggunakannya. Kulkasku benar-benar tidak ada isi. Bahkan, sebotol air pun tidak ada. Begitu juga dengan kompor, selama 4 tahun, aku belum pernah menggunakannya. Karena kamar ini sama sekali tidak mempunyai isi yang berharga, aku tidak pernah menguncinya karena tidak ada yang bisa dicuri.

Apa kalian bisa membayangkan kehidupanku? Ya, lebih baik tidak usah dibayangkan karena aku itu buang-buang waktu. Aku benar-benar tidak ingin ada orang yang pura-pura memahami kehidupanku.

"Hai Jackson!" sapaku sambil duduk di sudut ruangan menatap satu-satunya foto yang terpajang di dinding. Jika dilihat sekilas, tidak ada yang istimewa dengan itu. Tapi jika kalian mengerti astronomi, itu adalah gambar salah satu dari sekian banyak gugusan bintang di luar angkasa.

Kenapa aku memajangnya? Ya, tentu saja karena ada hal spesial. Salah satu diantara kumpulan-kumpulan bintang tersebut adalah bintang yang hanya muncul pada tanggal 31 Desember. Oke, mungkin sekarang pertanyaannya berganti. Ada apa dengan tanggal 31 Desember? Tanggal itu adalah tanggal dimana segalanya bermula dan berakhir. Tidak usah bingung, jika aku mau aku akan memberitahukannya pada kalian. Tapi, tidak sekarang.

Omong-omong, apakah kalian pernah mendengar istilah "bulan memang jauh, tapi ia tidak pernah meninggalkan bumi"? Baiklah, jika kalian pernah dengar, atau baru dengar sekarang, istilah itu adalah kunci dari cerita ini.

"Nyonya, apakah Anda sudah makan hari ini?" tanya sebuah suara yang pria yang terdengar sangat baku. Jika kalian bertanya, itu adalah Jackson, kecerdasan buatan yang aku rancang sendiri dan kupasang di ponselku. Ya, hampir miriplah dengan Siri yang dibuat oleh perusahaan Apple.

"Jika aku tidak makan, apa membuat kematianku semakin cepat?" tanyaku dengan mata yang mashih terfokus pada gambar gugusan bintang itu.

"Jika Anda tidak makan, lambung Anda akan bermasalah. Dan jika Anda membiarkannya, Anda beresiko terkena infeksi lambung. Jika sudah sangat parah, Anda bisa meninggal, Nyonya," jawab Jackson.

Aku tersenyum sinis. "Baiklah, aku tidak akan makan hari ini, Jackson."

"Nyonya, apakah malam ini Anda ingin mendengarkan suaranya?" tanya Jackson lagi.

Aku mengangguk. "Sudah kubilang untuk memutarnya setiap malam, kenapa harus bertanya lagi."

Beberapa detik kemudian, sebuah suara laki-laki terdengar memenuhi sesisi ruangan. Suara yang entah kenapa membuat air mataku mengalir begitu saja. Rekaman suara tahun 2003, Swiss. Jejak terakhir yang kupunya darinya.

"Feb, aku sekarang berada di Grindelwall. Semuanya putih, ini benar-benar indah dan benar-benar dingin! Saat kamu sudah punya paspor nanti, aku berjanji akan mengajakmu ke sini. Mungkin kamu tidak akan suka karena di sini sangat susah untuk melihat bintang, tapi kamu bisa melihat salju yang berjatuhkan dari lamgit sebagai gantinya. Tunggu aku ya, Feb. Sebentar lagi aku akan kembali."

Suara itu berhenti disusul dengan air mata yang terjun bebas membasahi pipiku. Tidak, aku sama sekali tidak sedih. Selama 17 tahun, aku tidak pernah merasakan kesedihan. Ya, seperti yang kalian tahu aku mengidap penyakit Alexithymia sehingga aku tidak bisa merasakan emosi apapun.

Tidak, jangan bilang aku beruntung karena aku tidak akan merasa kesedihan sepanjang hidupku. Ingat hal ini, aku tidak bisa merasakan emosi apapun. Bukan hanya kesedihan, aku juga tidak bisa merasakan kebahagiaan, kehangatan, cinta. Aku tidak bisa merasakan bagaimana rasanya marah. Aku tidak bisa merasakan bagaimana rasanya keseipian. Selama ini, aku hanya bisa membayangkannya.

Apa kalian mau tahu, bagaimana rasanya hidup tanpa emosi? Rasanya benar-benar kosong. Seperti aku tinggal di sebuah kotak kosong dan terkunci di dalamnya. Rasanya seperti aku hidup di dunia yang berbeda dari orang-orang biasa.

Seseorang, tolong aku.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now