ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵈᵉˡᵃᵖᵃⁿ ᵇᵉˡᵃˢ

13 6 0
                                    

Agustus tidak bisa terus begini. Sudah satu minggu lebih dia mengabaikan Februari. Dia mengakui semua ini adalah kesalahannya dan dengan bersikap seperti ini, dia makin bersalah. Ya, meskipun Februari terlihat biasa-biasa saja atau malah senang dengan situasi ini.
      
Setelah meninggalkan Februari begitu saja saat hujan turun, Agustus benar-benar tidak bisa membiarkan hubungannya begini terus. Maka dari itu, Agustus berada di ruangan kosong ini yang tak lain adalah kamar kos Februari.
      
Agustus tersenyum saat melihat kantong plastik berisi alat makan itu masih terbungkus rapi di samping pintu. Ia sengaja meninggalkannya di rumah Februari agar dia makan dengan baik. Tapi sepertinya percuma saja. Kantong plastik itu bahkan tidak pernah disentuh.
      
Agustus hanya diam duduk di lantai dan bersender pada tembok kamar sambil memperhatikan gambar gugusan bintang yang terpajang di hadapannya itu. Dia tersenyum. Di antara bintang-bintang itu, dia bisa melihat kedua orang tuanya yang menyamar menjadi bintang paling terang, seakan-akan sedang menyapanya.

***
      

“Apa yang kamu lakukan di sini, Gus?” tanyaku kebingungan.
      
“Aku ingin bertanya, bagaimana rasanya memiliki seorang malaikat dalam hidupmu?” Agustus balik bertanya dengan ekspresi yang tidak pernah ku kenali sebelumnya.
      
Dia terlihat … sangat hancur.
      
“Apa yang kamu lakukan di sini? Sana pergi!” usir ku berusaha tidak menghiraukan ekspresi Agustus yang terlihat sangat menyedihkan. Bukan aku tidka berperikemanusiaan, tapi dia kan seorang public figure. Kalau dia terpergok di rumah seorang perempuan pada malam hari bisa-bisa karirnya hancur dan aku akan kehilangan pekerjaanku.
      
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
    
Aku membuang napas pasrah, sepertinya pria ini tidak akan keluar dari kamar kosku sebelum aku memberinya jawaban. Tapi, bagaimana caraku menjawab pertanyaannya?
      
“Rasanya seperi ….” Aku berpikir kata apa yang pas untuk menggambarkannya. “Aku seperti benar-benar hidup,” jawabku singkat karena kata itu yang bisa kujelaskan padanya.
      
“Apa sekarang kamu tidak merasa hidup?” tanya Agustus lagi.
      
Aku menggeleng. “Aku hanya ada.”
      
Agustus menganggu paham. Tangannya lalu terangkat, menunjuk ke arah gambar gugusan bintang itu. “Apa kamu melihatnya juga?”
      
“Melihat apa?”
      
“Aku melihat orang tuaku di sana. Apa kamu melihat malaikatmu juga?”
      
Aku mengangguk. “Ya, aku melihatnya.”
     
Agustus diam sebentar, lalu kembali berbicara. Tapi kali ini, suaranya terdengar sangat bergetar. “Apa jika aku mati aku juga ada di sana menjadi bintang?” tanyanya entah pada siapa karena matanya tertuju pada gambar itu.
      
“Hm, mungkin saja.”
      
Tanpa kuduga, Agustus mengeluarkan sebuah silet dari bajunya. “Apa yang kamu lakukan?” tanyaku terkejut saat silet itu hampir mengenai pergelangan tangannya. Dengan cepat, aku menahan tangannya dan berusaha mengambil silet itu.
      
“Lepaskan aku! Aku tidak ingin hidup di sini, aku ingin menjadi bintang saja!” gerutu Agustus berusaha melepaskan genggamanku.
      
“Apa kamu yakin ingin mati begitu saja sebelum kamu bertemu dengan malaikatmu?” tanyaku yang membuat gerakannya mendadak berhenti.
      
Sekarang, Agustus tidak lagi melawan. Silet yang digenggamnya dengan kuat kini mulai meregang dan dengan cepat aku mengambilnya. Punggungnya bergetar. Agustus sedang menangis. “Aku sangat merindukan orang tuaku. Aku harap, semesta mengutukku sepertimu supaya aku tidak perlu merasakan sakit setiap hari,” katanya dengan nada putus asa.
      
“Aku harap aku sepertimu. Aku ingin merasakan sakit setiap hari sepertimu,” kataku sambil melihat gambar gugusan bintang itu. Aku ingin merasakan yang seharusnya aku rasakan. Aku akan hidup dengan rasa bersalah, rindu, kesedihan. Dengan begitu, aku bisa bertanggung jawab dengan hal yang telah aku lakukan dan aku bisa mati dengan tenang.

***
      

Jam menunjukkan pukul 12 malam. Dokter Ke akhirnya bisa keluar dari ruangannya. Sebenarnya, dia sudah bisa pulang saat pukul 10, tapi pasien terakhirnya sedang asik bercerita bahkan sampai waktunya habis. Dokter Ke tidak bisa protes karena memang itu adalah tugasnya. Pasien selalu menjadi prioritas utamanya.
      
“Dokter Ke,” panggil seseorang dari belakang saat Dokter Ke hendak mengunci ruangannya dengan suara rendah.
      
Dokter Ke berbalik, alisnya mengkerut saat dia melihat seseorang yang sudah lama tidak dijumpainya. “Agustus, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Doker Ke dengan nada terkejut.
      
Agustus hanya diam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan Dokter Ke.
      
Dokter Ke yang mengerti kondisi Agustus yang sedang tidak baik itu langsung mengambil inisiatif. 

“Silakan masuk.” Dokter Ke kembali membuka pintu ruangannya.
      
Dokter ke memberikan secangkir teh hangat pada Agustus. “Minumlah!” katanya dengan ramah.
      
Agustus menggeleng. Dia lalu meletakkan cangkir teh itu di atas meja tanpa meminumnya sedikit pun.
      
“Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Gus. Sekitar dua tahun kita tidak bertemu, bukan?” tanya Dokter Ke untuk memancing Agustus berbicara.
      
Seperti pasien lainnya, Agustus tidak menjawab.
      
Dokter Ke mamakluminya. Agustus adalah pasiennya selama 5 tahun dan dia dinyatakan sembuh 2 tahun lalu. Menurut Dokter Ke, Agustus adalah pasien yang sangat spesial. Dokter Ke pertama kali bertemu dengan Agustus saat ia sedang mencoba untuk bunuh diri dengan lompat dari jembatan.
      
Agustus saat itu depresi berat karena dia kehilangan kedua orang tuanya pada kecelakaan maut 31 Desember 2003.
      
“Apa yang terjadi padamu, Gus? Bukankah kamu hidup baik selama 2 tahun terakhir?” tanya Dokter Ke kembali memastikan.
     
“Aku bertemu dengan anak lain yang selamat dalam kecelakaan itu,” kata Agustus pada akhirnya.
      
Dokter Ke sebenarnya tahu siapa anak yang dimaksud oleh Agustus. Terbesit rasa kasihan dalam dirinya karena keduanya sama-sama menjalani hidup yang suram. Jika Dokter Ke dikasih pilihan ingin selamat atau tidak dalam kecelakaan itu, tentu saja dia memilih untuk tidak selamat.
      
“Dokter Ke, aku ingin menjadi bintang.”

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now