ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵈᵉˡᵃᵖᵃⁿ

17 9 0
                                    

Karena aku menytujui perjanjian itu, jadwalku semakin hari semakin sibuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Karena aku menytujui perjanjian itu, jadwalku semakin hari semakin sibuk. Bahkan, aku tak punya waktu untuk sekedar duduk dan merelaksasikan diri selama beberapa detik saja. Aku harus mengikuti Agustus ke mana pun ia pergi dan memotretnya. Ditambah lagi manager menyebalkan yang sedari tadi melihatku dengan pandangan menyelidik.

"Dari tadi Anda melihatku. Apa ada yang salah?" tanyaku pada akhirnya.

"Tidak. Aku hanya memperhatikan bagaimana kamu bekerja dan tolong jangan menggunakan bahasa formal, itu sangat mengangguku," jawabnya yang kini sok sibuk dengan memperhatikan kertas-kertas yang dipegangnya walaupun aku tahu, itu hanya albibinya saja agar tidak kelihatan memperhatikanku.

"Manager, apa jadwal kita selanjutnya?" tanyaku saat aku sudah selesai memotret Agustus yang sedang diwawancarai.

"Jangan panggil aku manager, panggil saja dengan namaku." Tiba-tiba, manager menyebalkan itu menatapku dengan tajam. "Apa jangan-jangan, kamu tidak tahu siapa namaku?" tanyanya.

Aku membuang napas kesal. "Apa kita pernah berkenalan sebelumnya?" tanyaku balik mengingat saat hari pertama bekerja, kami langsung sibuk mengurus berbagai hal dan tidak sempat berkenalan satu sama lain.

Manager mengangguk paham. "Baiklah, kalau begitu kita berkenalan sekarang saja." Ia mengacungkan tangannya hendak bersalaman. "Perkenalkan, namaku Gio."

"Feb." Aku menyebut namaku dengan singkat tanpa mempedulikan tangannya yang sama sekali tidak aku sentuh.

"Apa kamu buta? Aku ingin bersalaman denganmu, tapi kenapa kamu tidak menjabat tanganku?" tanyanya tak terima dengan prilakuku.

"Gio, tadi kan kamu yang bilang tidak usah bersikap formal. Bersalaman saat sedang berkenalan itu adalah salah satu tindakan formal. Jadi, apa sikapku salah?" mungkin sejak lahir di dunia ini, aku sudah terlebih dahulu di kutuk sehingga aku harus bertemu orang sebodoh dia di kehidupanku.

"Oh, omong-omong, aku ingin memberimu peringatan. Jika kamu sekali lagi membentak, menghina, atau memarahi Agustus, aku tidak akan segan-segan memecatmu. Apa kamu tahu, Agustus adalah orang yang memperkerjaanmu di sini, jadi mohon hormati dia." Gio memberi peringatan tak berharga untukku.

Aku memutar bola mata malas. "Juga tolong diingat hal yang satu ini, aku bukan orang yang bisa kamu ancam sesuka hati. Aku akan membentak, menghina, memarahi semua orang yang melakukan kesalahan termasuk Agustus. Jadi, peringatanmu itu hanya sia-sia."

***

Aku berdecak sebal. Seharusnya, aku sudah bisa sampai ke rumah dan beristirahat. Tapi karena orang yang sedang fokus menyetir ini, aku harus terjebak di dalam mobil yang entah menuju ke mana. "Kamu mau membawaku ke mana?" tanyaku untuk yang kesekian kalinya pada Agustus.

"Ini hari pertamamu bekerja, aku tidak ingin kamu lelah dan memutuskan untuk berhenti kerja. Jadi, aku akan membawamu ke tempat yang bisa merelaksasikan tubuhmu," jawab Agustus dengan perkataan yang sama seperti sebelumnya.

"Ini sudah hampir dua jam dan kita belum sampai. Apa jangan-jangan kamu akan menculikku?" tuduhku.

Agustus tertawa. "Tentu saja tidak. Tempatnya tidak jauh lagi, hanya beberapa tikungan ke depan, kita akan sampai."

Sesuai perkataan Agustus, beberapa menit kemudian ia memarkirkan mobil mewahnya di sebuah lahan kosong yang dipenuhi ilalang.

"Ayo keluar!" ajaknya.

Saat kelur dari mobil, aku hanya bisa melihat hamparan tanah luas yang dipenuhi ilalang. Tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada orang lain, tidak ada suara lain selain suara gesekan daun yang terkena angin. Matahari yang bersinar terang sama sekali tidak membuat tempat ini terasa panas karena pohon-pohon besar yang menghalangi cahaya matahari.

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanyaku pada Agustus.

Tanpa minta izin, Agustus memegang tanganku. "Kita belum sampai. Ayo, ikut aku!"

Sebelum ia melangkahkan kakinya, aku menahannya. "Kamu tidak perlu memegang tanganku, aku bisa jalan sendiri. Memegang tangan lawan jenis tanpa izin juga bisa membuatmu terjerat dalam kasus pelecehan."

Mendengar itu, Agustus tertawa pelan sambil melepaskan genggaman tangannya. "Baiklah, aku melepaskan tanganmu sekarang."

Sekitar 100 meter kami berjalan melewati rumput ilalng yang sangat lebat itu, kami tiba di ujung bukit. Agustus mengajakku duduk di sebuah kursi yang hanya muat di duduki untuk dua orang yang mengahadap langsung ke arah pemandangan kota yang terlihat sangat jauh itu.

"Kota hari ini sangat sibuk, bukan?" tanya Agustus setelah kami hening memperhatikan jalanan kota yang dipenuhi kendaraan.

Aku mengangguk dengan tatapan tak lepas dari pemandangan itu. "Kota selalu sibuk."

"Apa kamu suka tempat ini, Feb?" tanya Agustus.

Aku menggeleng. "Tidak, aku tidak menyukainya. Aku lebih menyukai jalanan kota yang padat."

Aku tidak berbohong saat aku mengatakannya. Aku memang tidak suka tempat ini. Tempat yang sunyi, kosong, dan tenang. Aku lebih menyukai jalanan kota yang padat dan berisik. Karena tempat ini, karena tempat ini benar-benar mencerminkanku. Ujung bukit itu seakan-akan ujung dari perjalanku yang memaksa untuk dilanjutkan padahal aku hanya ingin menggambar titik setelahnya. Titik yang tidak ingin dilanjutkan lagi.

Saat aku berada di tempat ini, aku seperti kembali ke rumah yang dulu aku tinggalkan. Saat aku berada di tempat ini, aku jadi teringat sesuatu yang berusaha aku lupakan. Kalau aku sedang mencari tempat bersembunyi di balik hiruk-pikuk kota. Kalau rumah yang aku tinggalkan sebenarnya tidak pernah rela membiarkan. Rumah itu terus mengejarku, memaksaku untuk pulang.

"Tempat ini adalah harapanku, Feb." Agustus kembali bersuara. "Aku berharap, aku bisa hidup dengan tenang. Jalanan kota it uterus memaksaku bergerak. Dia tidak peduli aku kelelahan dan butuh istirahat. Jalanan kota itu tak pernah membiarkanku sendirian. Jalanan kota itu benar-benar akan menghancurkanku suatu hari nanti."

Aku hanya diam mendengarnya berbicara.

"Saat aku tiba di sini, segala lelahku hilang. Saat aku melihat pemandangan ini, segala dendamku pada jalanan kota hilang. Saat aku duduk di sini, aku merasa masih ada tempat untukku menjadi diriku sendiri di dunia ini. Saat aku di sini, aku kembali menemukan alasan untuk hidup."

Agustus menatapku. "Apa jalanan kota itu adalah hidupmu, Feb?" tanya Agustus.

Aku menggeleng."Jalanan kota itu adalah tempat persembunyianku, Gus. Dan kamu, kamu sudah mengantarku kembali ke rumah yang selama ini aku hindari."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now