ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵉⁿᵃᵐ

25 9 0
                                    

Aku sudah siap dengan blazer cokelat serta celana kulot yang kukenakan untuk bertemu dengan kepala redaksi dan menunjukkan hasil foto yang sudah siap kuedit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku sudah siap dengan blazer cokelat serta celana kulot yang kukenakan untuk bertemu dengan kepala redaksi dan menunjukkan hasil foto yang sudah siap kuedit. Sekarang, aku sedang menunggu di ruangannya yang terlihat sangat elegan dengan cat berwarna abu-abu. Ya, mungkin aku baru menunggu sekitar lima menit tapi aku sudah sangat bosan. Kalau aku disuruh menunggu beberapa menit lagi, mungkin aku sudah tertidur di ruangan super dingin ini.
      
Untungnya, selang beberapa detik aku mendengar suara pintu terbuka dan disusul dengan suara bariton yang terdengar sangat lantang. “Ah, Anda sudah menunggu lama, Feb?” tanya kepala redaksi sambil berjalan menuju mejanya.
      
Mendengar itu, aku langsung berdiri dan membungkuk padanya. “Tidak, Pak. Saya baru saja datang,” jawabku lalu kembali duduk.
      
Tanpa basa-basi, kepala redaksi langsung membuka map cokelat berisi hasil akhir foto yang kuletakkan di atas mejanya.
      
“Ah, hasil foto Anda bagus sekali. Aku sangat puas dan tidak menyesal telah menyerahkan projek besar ini pada Anda. Aku yakin, beberapa bulan lagi Anda akan menjadi fotografer ternama.” Ketua redaksi memujiku dan hanya kubalas dengan tawa canggung.
      
“Omong-omong, aku dengar Agustus memintamu menjadi fotografer pribadinya. Apa itu betul?” tanya kepala redaksi sambil menatap mataku dari balik kaca mata petak miliknya.
      
Sialan! Kenapa berita itu malah tersebar? Padahal aku berusaha menutupnya rapat-rapat.
      
Melihat aku yang hanya bungkam dengan  wajah masam, kepala redaksi kembali angkat bicara. “Manager Gio yang memberitahu hal itu padaku dan aku pikir, itu kesempatan emas. Jika Anda menjadi fotografer pribadinya, Anda tidak perlu repot-repot mencari projek baru dan tentunya, gaji Anda akan jauh lebih besar daripada sebelumnya,” jelas kepala redaksi sedang mempengaruhi pikiranku.
      
Aku hanya mendesah pasrah, tidak tahu harus menjawab apa.
      
“Tenanglah, Agustus orang yang sangat profesional. Aku yakin dia tidak akan mencampurkan hubungan pribadi dan pekerjaan,” kata kepala redaksi.
      
Jika dipikir-pikir lagi, ucapan kepala redaksi ada benarnya. Agustus adalah orang yang terkenal dan tentu saja profesional. Kenapa aku malah menolak tawaran emas itu? Aku sungguh bodoh. Meskipun dia tampaknya tahu kelemahanku, aku yakin Agustus tidak akan ikut campur dalam urusan pribadiku. Aku benar-benar tidak rasional!
      
“Baiklah.” Suara kepala redaksi membuyarkan lamunanku. “Aku harus kembali bekerja. Anda bisa keluar sekarang,” sambungnya.
      
Aku mengangguk canggung. “Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak,” pamitku lalu berjalan keluar.

***
      

Aku berdecak sebal saat ponselku tiba-tiba menyala dan suara Jackson keluar dengan sangat keras. “Nyonya, Anda seharusnya segera makan. Sekarang sudah pukul tiga sore.”
      
“Diamlah!” gerutuku. “Jangan bicara saat aku tidak memanggilmu, Jackson. Sudah kukatakn berkali-kali,” sambungku geram lalu segera mematikan ponselku.
      
“Sepertinya kamu memang punya masalah pribadi dengan makan tepat waktu.” Sebuah suara muncul tiba-tiba tepat setelah aku mematikan ponselku.
      
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku tak suka menatap Agustus yang menjulang tinggi dengan wajahnya yang ditutupi masker serta kacamata.
      
Aku tebak, dia sekarang sedang tersenyum dari balik maksernya karena area di sekitar matanya yang mengkerut. “Tentu saja, aku ingin bertemu dengan orang yang sudah menolak tawaranku mentah-mentah,” jawabnya santai.
      
Aku mendengus kesal. Untungnya, bus yang dari tadi kutunggu-tunggu muncul di saat yang tepat. “Busku sudah datang,” pamitku lalu pergi meninggalkannya.
      
Saat aku hendak naik bus, seseorang memegang bajuku membuatku tertahan di tempat. Aku menolah ke belakang dan seperti yang kuduga, pelakunya adalah Agustus. “Apa yang salah denganmu?” gerutuku kesal.
      
“Biarkan lansia naik terlebih dahulu,” katanya lalu mempersilakan seorang nenek-nenek yang menggunakan tongkat naik ke atas bus.

“Nah, sekarang kamu boleh naik.”
      
Aku memutar bola mata jengah lalu naik ke atas bus dan disusul olehnya. Karena hari ini hari biasa, busnya sangat penuh membuatku terpaksa harus berdiri sambil berpegangan pada tiang yang terletak di dekat pintu keluar-masuk bus.
      
“Bukankah bus ini sudah kelebihan muatan?” tanya Agustus padaku.
      
“Kamu saja yang tidak pernah naik bus. Hal seperti ini sudah terlampau biasa saat hari-hari kerja,” cibirku yang tidak dihiraukannya.
      
“Omong-omong,” kataku lagi. “Apa yang kamu lakukan?” tanyaku.
      
“Kan sudah kubilang sebelumnya, aku ingin bertemu dengan seseorang yang menolak tawaranku mentah-mentah. Aku penasaran, apa alasannya menolak tawaranku. Padahal, banyak orang yang mengantri untuk bekerja sama denganku,” rancaunya yang membuatku semakin malas menanggapinya ditambah udara di dalam bus yang pengap.
      
“Pilih saja orang-orang yang mau bekerja denganmu, kenapa repot-repot menawariku pekerjaan? Lagi pula, yang mau bekerja denganmu itu hanya penggemarmu.”
      
“Apa kamu bukan penggemarku?”
      
Dengan cepat, aku menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak penting.”
      
“Kalau begitu, apa makan juga bukan hal yang penting bagimu?” tanyanya lagi yang membuat emosiku naik seketika.
      
“Itu urusan pribadiku, jangan ikut campur,” sergahku dingin lalu turun dari bus karena aku sudah sampai di tujuan akhirku.
      
Ya, pria itu benar-benar keras kepala. Walaupun sudah kutolak mentah-mentah, dia masih setia mengejarku hingga aku tiba di kos-kosanku.
      
“Tempat apa ini?” tanyanya penasaran sambil melirik kamar kosku dengan tampang tak nyaman.
      
“Tempat tinggalku,” jawabku acuh.
      
“Kamu tinggal di tempat seperti ini?” tanyanya tak percaya dengan raut terkejut di sana.
      
Aku membuang napas kasar. “Jika kamu tidak nyaman, maka pulanglah! Aku tidak pernah menyuruhmu mengikutiku.” Aku menatapnya sinis.
      
“Tapi, ada hal yang harus kubicarakan padamu.” Ia kembali menarik bajuku membuatku tak bisa bergerak ke mana-mana.
      
“Kalau begitu, cepat katakan. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.”
      
Agustus membuang napasnya pasrah. “Kamu harus menjadi fotografer pribadiku,” katanya tegas seakan-akan dia sedang memerintahku.
      
Aku bedecak sebal. “Sudah kubilang aku tidak mau!” tolakku kesal.
      
Agustus menggeleng, membalas tatapan tajamku. “Sudah kubilang harus!” tegasnya.
      
“Kenapa aku harus menerima tawaranmu?” tanyaku menantang.
      
“Karena kita sama-sama tahu apa kelemahan kita,” jawabnya yang membuatku kebingungan.
     
“Apa yang kamu bicarakan?”
      
“Kamu, kelemahanmu adalah emosimu. Aku, kelemahanku adalah obat-obatan yang kukonsumsi. Kita harus menjaga keduanya agar tidak seoang pun tahu mengenai hal ini.”


      

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


      

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now