ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵗᵘʲᵘʰ ᵇᵉˡᵃˢ

16 6 0
                                    

Dengan tatapan yang sulit diartikan, aku memperhatikan Agustus yang sedang beradu acting. Ya, walaupun kejadian itu sudah seminggu lebih berlalu, tetap saja ada rasa canggung di antara kami. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu karena sejujurnya hal itu membuatku merasa lebih baik. Agustus tidak lagi menggangguku atau mengejar ku seperti hari-hari sebelumnya.
      
“Feb!” panggil Gio dengan berbisik di sampingku.
      
“Apa?” jawabku singkat dengan pandangan yang sama sekali tidak teralihkan.
      
“Bukankah mereka cocok?” tanyanya.
      
Aku mengerutkan dahi ku. Siapa yang dimaksud orang ini? “Siapa?”
      
“Agustus dengan Rena. Bukankah mereka cocok? Apa kamu tahu, banyak penggemar yang mengharapkan mereka berpacaran. Rena sangat cantik Agustus juga tampan. Mereka akan menjadi pasangan yang sempurna,” jelas Gus dengan nada yang sengaja dilebih-lebihkan.
      
“Aku tidak peduli. Mereka berpacaran atau tidak itu urusan mereka, aku tidak punya hak di dalamnya,” jawabku ketus karena memang aku tidak suka ada orang yang suka mengganggu privasi, baik itu privasi ku atau orang lain.
      
“Ah, apa kamu cemburu, Feb?” tanya Gio menggoda.
      
Aku menatap Gio dengan sinis. “Cemburu apanya? Jika seseorang tidak ingin mengusik privasi orang lain apa itu artinya dia cemburu? Berpikirlah dengan cerdas! Aku sedang menghormati orang lain.”
      
“Menghormati apanya?” cibir Gio. “Tidak apa-apa jika kamu cemburu. Beberapa bulan terakhir kamu dekat dengan Agustus dan tiba-tiba kamu mendengar berita mereka berpacaran, sudah pasti kamu cemburu. Tidak usah malu mengakuinya.”
      
Aku membuang napas pasrah. Tidak ada gunanya menanggapi orang gila yang satu ini. Itu hanya menghabiskan waktuku saja.

***
      

“Nyonya, apa Anda sudah makan?” tanya Jackson yang membuat lamunanku buyar.
      
Aku sedang berada di rooft top gedung perusahaan yang akan mensponsori Agustus. Ya, sebenarnya hari ini mereka hanya meeting dan sama sekali tidak ada sesi pemotretan. Jadi, aku hanya hadir di sini sebagai pajangan. Tidak terlalu buruk, karena aku bisa beristirahat selama beberapa jam.
      
“Langitnya hari ini mendung, bukan?” tanyaku sambil menatap langit yang ditutupi awan abu-abu. Mungkin dalam beberapa menit lagi hujan akan turun dengan lebat.
      
“Menurut ramalan cuaca, dalam waktu dua puluh menit akan turun hujan. Apa Anda bawa payung, Nyonya?”
      
“Tentu saja tidak.”
      
Sepertinya, ramalan cuaca tidak begitu akurat karena selang beberapa detik aku menjawab pertanyaan Jackson, rintik-rintik hujan sudah jatuh dari langit. Aku tidak ingin kamera yang aku bawa rusak karena terkena angin tentunya, maka dari itu aku buru-buru pergi.
      
Selama hampir lima belas menit aku menunggu di luar ruangan meeting dan akhirnya pintu itu terbuka.
      
“Ah, kamu menunggu di sini rupanya,” kata Gio yang terkejut melihatku yang tengah bersender di dinding.
      
“Kenapa tidak menunggu di tempat yang lebih nyaman saja?” tanya Gio.
      
“Tadi aku menunggu di rooft top tapi hujan.”
      
Gio mengangguk paham. Lalu kami segera pergi menuju pintu keluar. Ini adalah jadwal terakhir Agustus. Jadi, aku tidak perlu mengikuti ke mana mereka pergi dan langsung pulang.
      
“Kamu tidak ikut kami?” tanya Gio saat aku tidak mengikuti mereka masuk ke dalam mobil sudah terparkir di depan pintu masuk.
      
Aku menggeleng. “Aku akan langsung pulang karena malam ini aku ada jadwal pemotretan.”
      
Gio mengangguk paham sedangkan Agustus, ya seperti yang kalian tahu, hubungan kami menjadi canggung semenjak hari itu. Jadi dia sekarang hanya diam berpura-pura tidak mendengar percakapan antara aku dan Gio.
      
Beberapa detik kemudian, mobil itu melaju cepat meninggalkanku sendiri. Jika kalian bertanya apa rencanaku selanjutnya, tentu saja aku akan melakukan hal paling mmebosankan. Menunggu hujan reda.
      
Untungnya, kali ini langit cukup baik padaku. Tak sampai satu jam hujan sudah berhenti. Jadi, aku segera naik bus dan pulang ke rumah.
      
Pantaskah aku mengatakan hari ini adalah hari keberuntunganku karena aku bisa pulang kerja saat pukul tiga sore karena biasanya aku pulang paling cepat pukul sembilan malam.
      
Dengan berhati-hati, aku merebahkan diriku di lantai karena seperti yang kalian tahu, lantai itu sangat keras jadi aku tidak mau membuat diriku kesakitan. Pandanganku tertuju pada sebuah kantong plastik berwarna hitam yang berada di samping pintu.
      
Aku berdecak kesal. Kenapa ada saja yang ingin menganggu waktu santai ku? Aku berjalan menuju kantong plastik itu dan segera melihat apa isi di dalamnya. Ah, ternyata alat makana yang dulu pernah Agustus berikan padaku namun aku tolak.
      
Apa yang harus aku lakukan? Menelponnya dan menyuruhnya mengambil ini atau membiarkannya saja?
      
Mungkin lebih baik aku memberinya secara langsung besok. Hitung-hitung, untuk membuat hubungan kami lebih baik karena walaupun sebenarnya aku diuntungkan dalam kondisi seperti ini, bagaimana pun kami rekan kerja. Jadi mau tidak mau ak harus memperbaikinya.

***
      

Pukul delapan malam, aku masih sibuk memotret seorang model yang tengah asik bergaya di depanku ini. Meskipun aku sudah punya pekerjaan tetap, aku masih belum terlalu berpengalaman. Memotret di studio-stuido kecil dan model-model pemula akan meningkatkan pengalaman kerjaku.
      
“Maaf, Kak.” Model itu tiba-tiba menghentikan kegiatanku.
     
“Ada apa?” tanyaku tidak suka. Ya, siapa orang yang suka saat seseorang mengganggu pekerjaannya?
      
“Aku harus segera pulang. Tidak ada yang menjemput adikku karena ibuku sedang sakit,” katanya ragu-ragu.
      
Aku membuang napas pasrah. Mau bagaimanapun, dia adalah kilen-ku, jadi aku harus mengikuti perintahnya. “Ya, kamu boleh pergi. Kita akan melakukan pemotretan lagi jika kamu ada waktu.”
      
Setelah melalui perjalanan panjang, naik kereta satu kali dan bus dua kali aku akhirnya tiba di kamar kosku pukul sebelas malam. Aku segera membuka pintu dan terkejut saat melihat seseorang ada di dalan kamar kosku.
      
“Apa yang kamu lakukan di sini, Gus?” tanyaku kebingungan.
      
“Aku ingin bertanya, bagaimana rasanya memiliki seorang malaikat dalam hidupmu?”

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now