ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵗⁱᵍᵃ ᵇᵉˡᵃˢ

16 7 0
                                    

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam bandara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam bandara. Ruangan luas ini hampir tidak ada orang di dalamnya.  Hanya ada petugas keamanan dan beberapa penumpang saja yang lewat.
      
Ya, itu bukan hal aneh. Siapa yang ingin berpergian saat malam tahun baru? Lebih baik berkumpul bersama keluarga dan teman, bukan?
     
Lalu apa yang aku lakukan di sini? Tentu saja melakukan hal yang sama. Aku akan berkumpul dengan temanku, Putra. Mungkin dengan cara yang sedikit berbeda karena yang sekarang aku punya hanyalah jejak kecil di hari terakhirnya.
      
Aku duduk di depan pintu bertuliskan kedatangan. 17 tahun lalu, aku juga duduk di sini, di kursi yang sama sambil menunggu seorang anak laki-laki yang akan muncul dari dalam sana.Sekarang, aku juga duduk di sini. Bukan untuk menunggu anak laki-laki itu. Tapi untuk menatap jejak yang dulu pernah ditinggalkannya.
      
Seorang pembawa acara yang aku tonton di televisi benar, sebuah hal kecil akan menjadi sangat berharga jika ia menjadi kenangan.
      
Kenangan. Aku sama sekali tidak tahu harus melakukan apa dengan semua kenangan ini. Sebagian orang bilang alangkah baiknya kenangan yang buruk dilupakan. Tapi sebagian lainnya berkata kenangan buruk sebaiknya dijadikan pelajaran. Bahkan aku sama sekali tidak tahu apa kenangan yang ku punya itu kenangan buruk. Karena segala yang menyangkut tentangnya, entah itu buruk kedengarannya, akan berubah menjadi baik karena dia.
      
“Nak, apa kamu sedang menunggu seseorang?” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingku.
      
“Hm ….” Aku mengangguk.
      
Mata wanita paruh baya itu terlihat sangat berbinar, senyum yang menghias wajahnya yang berkeriput, jari-jemarinya terus bergoyang menandakan dia sangat bersemangat. Wanita yang beruntung. Aku sangat iri padanya.
      
“Hari ini, suamiku akan pulang setelah 2 tahun dia bertugas di luar negeri. Aku sangat merindukannya.” Wanita itu kembali angkat bicara. “Kamu akan menemui siapa? Apa kamu akan menemui pacarmu?” tanyanya.
      
Aku menggeleng. “Seorang teman,” jawabku.
      
Wanita itu mengangguk. “Sepertinya kamu sangat merindukan temanmu. Terlihat sekali dari ekspresi wajahmu. Berapa lama kalian tidak berjumpa?” tanyanya lagi.
      
“17 tahun.”
      
Mendengar jawabanku, wanita itu membesar tidak percaya. “Benarkah? Aku pikir di dunia ini hanya aku yang paling lama tidak bertemu dengan orang yang aku sayangi. Ternyata masih ada kamu. 17 tahun. Aku tidak bisa membayangkan sebesar rasa rinduku jika tidak berjumpa dengan suamiku selama itu,” komentarnya dengan sangat bersemangat.
      
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Aku sama sekali tidak tahu harus bereaksi apa karena aku tidak tahu bagaimana rasanya rindu.
      
“Jangan sedih, Nak.” Wanita itu menepuk pundak ku saat menyadari aku hanya diam saja. “Kamu akan bertemu dengan temanmu sebentar lagi. Percaya padaku, rasa rindumu itu akan terbayar setelah kamu melihat wajahnya dan memeluknya.”
      
Aku mengangguk. “Aku harap begitu.”
      
Selang beberapa menit, pintu kedatangan terbuka dan disusul dengan orang-orang yang keluar sambil membawa koper. Wanita yang ada di sampingku itu sontak berdiri, matanya sibuk mencari keberadaan suaminya.
      
Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan kepala botak berlari menuju wanita itu meninggalkan kopernya begitu saja. Mereka saling melepas rindu dengan berpelukan. Aku yang melihat kejadian itu hanya tersenyum sinis. Kenapa semesta begitu tidak adil padaku?
      
“Loh Nak, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu kebingungan melihatku yang berjanjak dari kursi hendak pergi begitu saja.
     
“Apa temanmu sudah keluar?” tanya wanita itu lagi memastikan.
      
Aku menggeleng. “Sepertinya dia juga tidak datang tahun ini,” kataku lalu berjalan pergi.

***
       

Untuk yang kesekian kalinya, perutku berbunyi dan aku tetap menghiraukannya. Suasana tengah malam yang tampak sangat hening. Halte bus yang aku duduki ini kosong, tidak ada orang ataupun bus yang berhenti di halte ini.
      
Sudah hampir dua jam aku duduk di sini, berusaha melawan angin yang bertiap sangat kencang menerpa kulitku yang mulai kedinginan. Aku sudah tahu, akhir tahun biasanya sangat dingin tapi aku tetap menggunakan kaos dan celana jeans.
      
Aku membiarkan tubuhku kedinginan. Setidaknya, aku bisa merasakan sesuatu. Saat hari ini datang, aku selalu kebingungan. Apa aku seharusnya sedih? Apa aku seharusnya rindu? Apa aku seharusnya senang? Aku tidak tahu apa emosi yang harus aku keluarkan di hari ini. Setidaknya, ada angin kencang yang juga kebingungan sepertiku. Setidaknya ada angina yang kebingunan kenapa aku tidak memakai baju hangat di cuaca dingin.

***
      

Pukul 4 dini hari, aku tiba di tempat pemberhentian terakhirku. Aku tiba di tempat pemakaman. Suasana sepi sama sekali tidak mengusikku. Mataku tertuju pada sebuah nisan yang tertulis nama Putra di atasnya.
      
“Maaf,” kataku singkat sambil menundukkan kepala, berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh namun percuma.
      
Jika saja aku tidak memaksanya naik bus di hari itu, dia pasti masih hidup sekarang, bukan? Ini semua salahku. Aku membunuh teman sekaligus malaikatku. Aku benar-benar pantas dihukum.
      
Hari itu, aku tidak hanya membunuh Putra. Aku juga membunuh mimpi-mimpinya yang tinggi itu. Aku membunuh harapan-harapannya di masa depan. Aku bukan hanya membunuh seorang anak laki-laki. Aku juga membunuh segala yang ada di sekitarnya. Aku membunuh kedua orang tuanya. Aku membunuh saudara-saudaranya. Aku membunuh diriku sendiri.
      
Jika diingat, tidak seharusnya aku mengutuk semesta yang mengambil segala dariku dan hanya menyisakan tubuhku. Aku sangat pantas mendapatkannya. Aku bahkan pantas mendapatkan hal yang lebih buruk karena aku membunuh salah satu malaikat terindah yang ada di dunia.
      
Fokusku teralihkan saat tiba-tiba sebuah tangan melingat dileherku. Seseorang sedang memelukku dari belakang.
     
“Jika seseorang sedang sedih, aku harus memeluknya,” katanya.
     
“Supaya  apa?” tanyaku.
      
“Supaya dia merasa, di tengah-tengah dunia yang dingin, masih ada kehangatan kecil yang melindunginya agar dia tidak membeku.”

”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now