ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ˢᵉᵇᵉˡᵃˢ

17 7 0
                                    

Aku langsung terduduk dengan napas yang menggebu-gebu seperti habis lari sepuluh putaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku langsung terduduk dengan napas yang menggebu-gebu seperti habis lari sepuluh putaran. Mimpi buruk lagi atau lebih tepatnya, kenyataan buruk yang kembali mampir dalam hidupku.
      
Aku segera mendekat menuju pojok ruangan, meringkuh sambil menutup kedua telingaku dengan tangan saat aku kembali mendengar suara itu. Suara rintihan orang-orang yang ada di dalam bus itu. Suara rintihan Putra yang berusaha menahan rasa sakitnya. Dari 30 korban yang ada di lokasi kejadian, kenapa harus aku yang diselamatkan? Jika aku diberi pilihan, aku lebih baik mati.
      
Dering telepon berhasil meredakan rasa takutku. Dengan tangan yang masih gemetar, aku mengangkat telepon itu.
      
“Halo?” suara Gio terdengar dengan jelas.
      
“Ada apa?” tanyaku dengan suara bergetar.
     
“Aku sudah mengirimkan lokasinya. Datanglah ke sini tepat waktu. Oh ya, jangan lupa memakai baju hangat karena udaranya sangat dingin,” jelas Gio yang sama sekali tidak sadar dengan nada suaraku.
      
“Baiklah,” jawabku singkat lalu menutup telepon.
      
Tanganku berusaha meraih plastik putih berisi obat-obatan yang kudapatkan beberapa hari lalu. Kata Dokter Ke, aku harus meminum obat ini saat aku tanganku gemetar. Aku tidak tahu obat apa ini, tapi yang pasti, aku langsung merasa lebih baik setelah meminumnya. Suara-suara yang tadinya memenuhi indra pendengaranku kini mulai menghilang digantikan keheningan.

***
      

“Kenapa harus di tempat itu?” tanyaku dan Agustus dengan serentak.
      
“Ada apa dengan kalian? Lokasi syuting kali ini ada di Persimpangan Detak. Itu tempat yang biasa saja, kenapa kalian terlihat sangat terkejut?” Gio tampak kebingungan.
      
Persimpangan Detak, mungkin tempat yang tak berarti apa-apa bagi banyak orang. Tapi tidak denganku dan mungkin orang yang duduk di sampingku ini. Sejak kejadian itu, aku sama sekali tidak pernah melewati persimpangan itu. Mendengar namanya saja sudah membuatku frustasi, apalagi melihat tempat itu secara langsung.
      
“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Gio memastikan.
      
Aku mengagguk, meski tidak yakin apa yang akan terjadi nantinya.
      
Aku menatap kosong persimpangan jalan yang sekarang sudah di sulap menjadi lokasi syuting. Ada banyak tenda didirikan serta banyak orang lalu lalang. Tanganku mulai bergetar, kepalaku mulai dikuasai kejadian 17 tahun lalu.
      
“Feb, apa kamu baik-baik saja?” tanya Gio entah untuk yang keberapa kalinya.
      
Aku mengangguk, lalu mengambil obat penenang yang aku bawa di tas ranselku.
      
“Kalau kamu benar baik-baik saja, maka cepat lakukan tugasmu! Agustus syutingnya akan segera di mulai.” Gio kembali bersuara.
      
Setelah meminum obat itu, kondisiku bisa sedikit dikendalikan. Walaupun tanganku masih bergear, setidaknya aku masih bisa memotret dengan baik.
      
Aku melihat Agustus dari balik lensa kameraku. Kondisinya tak jauh beda dariku. Dia tampak sangat tegang dan berkeringat. Aku yakin, dia berusaha sekuat tenanga mengendalikan dirinya. Jika dia melakukan kesalahan sedikit saja, aku yakin berita buruk tentangnya akan segera menggemparkan dunia.
      
Akhirnya, waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Setelah dua jam lebih menahan diri, aku bisa pergi dari tempat mengerikan ini. Tanpa pamit pada siapapun, aku langsung pergi.
      
Entahlah, aku tidak berpikir sedikitpun ingin pergi ke mana. Tapi kakiku dengan sendirinya melangkah. Seakan-akan dia tahu pasti tempat akhir yang akan aku tuju.
      
Setelah beberapa menit berjalan tanpa arah, langkahku berhenti di sebuah restoran kecil bergaya vintage. Dari luar, aku bisa melihat Agustus yang tengah melamun sendirian. Aku ingat, Agustus juga ada di kecelakaan itu, pasti perasaannya sama tertekannya denganku.
      
Aku berjalan masuk ke dalam restoran itu dan menghampirnya yang duduk di kursi paling pojok yang dapat diisi empat orang.
      
“Tempat ini adalah tempat yang akan kami datangi saat aku ulang tahun,” kata Agustus yang sadar aku duduk di depannya.
      
“Tidak buruk,” komentarku dengan suara rendah.
      
“Kamu adalah salah satu anak yang selamat, Feb?” tanya Agustus memastikan.
      
Aku mengangguk pasrah. Percuma jika aku berbohong. “Ya, aku adalah anak itu.”
      
“Kamu tahu, selama ini aku bertanya-tanya, siapa anak yang selamat itu? Apa dia hidup dengan baik sekarang? Apa dia bisa tidur dengan nyenyak? Apa dia bisa makan dengan lahap? Apa dia merasa beruntung bisa selamat dari kecelakaan itu?”
      
Aku menggeleng sambil tersneyum miris. “Sayangnya tidak. Aku tidak hidup dengan baik. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku tidak bisa makan dengan lahap. Aku merasa lebih baik aku mati hari itu,” jawabku.
      
Aku menarik napas, berusaha mengendalikan diri agar tidak kembali menangis. “Selama ini aku marah pada semesta. Kenapa dia tidak ambil nyawaku saja? Hari itu di dalam bus, masih banyak orang-orang yang lebih berharaga untuk diselamatkan. Ada malaikat yang menyamar jadi manusia. Kenapa tidak selamatkan dia saja? Padahal hadirnya jauh lebih berharga.”
      
Aku menatap Agustus nanar. Dia terlihat sangat sedih. “Selama ini aku berpikir anak lainnya itu hidup sama sepertiku. Tapi ternyata tidak. Kamu hidup dengan baik, Gus. Aku iri padamu.”
      
Agustus tersenyum. “Tidak ada yang benar-benar baik saat bahagianya direnggut begitu saja, Feb. Aku sama hancurnya denganmu. Setiap hari, aku menjalani hidup penuh kerinduan. Aku rindu masakan ibuku. Aku rindu bermain bersama ayahku.”
      
“Tidak ada lagi suara ibu yang menyambutku saat aku bangun tidur. Tidak ada lagi suara ayah yang memaksaku untuk mandi pagi. Setiap hari, aku bangun tidur dengan di sambut keheningan. Sudah 17 tahun, aku masih belum bisa berhasabat dengannya.”
      
Agustus menatapku. “Hari itu, apa kamu kehilangan seseorang?” tanya Agustus.
      
“Hm.” Aku mengangguk. “Aku kehilangan malaikatku.”
      
“Apa kamu sedih? Apa terkadang kamu merindukan kehadirannya?”
      
Aku menggeleng. “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa sedih, aku tidak bisa merindukannya. Karena saat aku terbangun, satu-satunya yang tersisa dari diriku juga dirampas.”
      
“Gus, semesta menghukummu dengan segala emosi yang dibiarkannya ada. Tapi cara semesta menghukumku berbeda. Dia menghukumku dengan membiarkanku hidup dengan kekosongan. Hidup hanya dengan tubuhku saja.” 


   

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



   

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now