ᴾʳᵒˡᵒᵍ

144 36 8
                                    

Ruangan persegi yang dicat berwarna putih itu sangat sunyi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ruangan persegi yang dicat berwarna putih itu sangat sunyi. Sudah hampir 5 menit aku duduk di kursi empuk super nyaman ini memperhatikan seorang wanita paruh baya yang memakai jas putih sedang sibuk membaca berkas-berkas yang kubawa. Dia adalah dr. Keana Malik. Mungkin lebih dikenal dengan sebutan Dokter Ke, seorang psikolog senior yang sudah sangat terkenal dibidangnya.

"Oh, jadi namamu Cahaya Februari, ya?" tanya Dokter Ke dengan sangat ramah sambil merapikan kembali berkas-berkas yang tadi aku bawa.

"Panggil saja aku Feb." Aku membalas keramahannya dengan tatapan datar, seperti biasa.

Dokter Ke tersenyum, sama sekali tidak bergeming dengan reaksiku yang sangat tidak sopan. "Aku telah banyak bertemu orang-orang unik, Feb. Tapi jujur, kamu sangat mencuri perhatianku. Aku harap, hubungan kita bukan hanya sekedar dokter dan pasiennya, tapi sebagai teman. Anggaplah aku temanmu, Feb. Ceritakan semuanya padaku." Dokter Ke kembali berbicara dengan ramah. Nada suranya juga terdengar sangat lembut saat sampai ditelingaku. Sayang sekali, aku tidak bisa merasakan keramahannya.

Aku menghela napas bosan. "Itu yang dikatakan setiap psikolog kepada orang-orang yang datang kepadanya, Dokter Ke. Membangun hubungan, itu hal utama yang sangat penting dalam hal psikologi. Tidak usah berpura-pura, Dokter Ke. Di matamu aku hanyalah seorang pasien," kataku dengan nada jengah. Sebelum memutuskan untuk masuk ke ruangan ini, aku sudah terlebih dahulu mencari diinternet apa yang akan dilakukan mereka.

Mendengar ucapanku yang mungkin sedikit kasar atau memang kasar, Dokter Ke malah tersenyum dengan sangat lebar, menampakkan gigi putihnya yang sangat rapi. "Kamu memang sangat rasional, Feb. Aku menyukai caramu berbicara dengan sangat tegas."

Ada jeda beberapa detik sebelum Dokter Ke kembali berbicara. "Baiklah, karena kamu sudah tahu triknya, kita akn mulai sekarang. Di berkas ini, kamu bilang kamu buta. Apa matamu tidak bisa melihat dengan baik, Feb? Jika ada masalah pada matamu, kamu seharusnya ke dokter mata, bukan ke psikolog," ucap Dokter Ke yang tampak kebingungan.

Aku hanya diam mendengar perkataan Dokter Ke. Entahlah, hanya kata itu yang bisa kutulis.

Dokter Ke menghembuskan napasnya dan kembali membuka mulut. "Ayolah, Feb. Aku tidak akan mengerti jika kamu hanya menulis dengan dua kata. Aku buta. Apa maksud dari tulisanmu?" Dokter Ke berusaha membuatku membuka mulut.

Setelah beberapa menit lengang, aku akhirnya memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Sudah sekitar 17 tahun lamanya, aku tidak bisa merasakan apapun. Aku pikir ini penyakit Alexithymia," kataku dengan suara pelan.

Mendengar itu, Dokter Ke langsung menatapku serius. "Alexithymia? Maksudmu, kamu tidak bisa merasakan emosi apapun selama 17 tahun?" tanya Dokter Ke memastikan.

Aku mengangguk.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Where stories live. Discover now