ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵉⁿᵃᵐ ᵇᵉˡᵃˢ

14 4 0
                                    

“Tidak,” kataku singkat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Tidak,” kataku singkat. “Aku tidak pernah malah pada semesta.”
      
Mendengar jawabanku yang tidak sesuai ekspetasinya, dahi Agustus mengkerut heran. “Kenapa? Semesta telah mengambil Putra darimu.”
      
Aku tersenyum getir. “Apa kamu marah pada semesta, Gus?” tanyaku balik.
      
Agustus mengangguk dengan cepat dan yakin. “Tentu saja. Semesta telah mengambil dua orang yang sangat berarti bagiku.”
      
Aku lagi-lagi tersenyum getir. Aku iri padanya. Semesta hanya mengambil orang tuanya, bukan jiwanya dan hanya menyisakan tubuhnya, sepertiku. Semesta jauh lebih sayang pada Agustus daripada dirku. Semesta mengambil segalanya. Semesta mengambil oang yang sangat berarti bagiku, semesta mengambil malaikatku, semesta bahkan mengambil diriku sendiri. Aku bagaikan kepiting yang hanya tinggal cangkang saja.
      
“Kamu beruntung, Gus.”
      
Agustus memincingkan matanya, dia tampak tidak suka mendengar perkataanku. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan penuh amarah.
      
Agustus lalu berdiri, menghampiriku dengan langkah-langkah besarnya. “Aku kehilangan orang tuaku dan kamu masih mengataiku beruntung? Tahu apa kamu soal kesengsaraanku?”
      
Selema beberapa bulan mengenalnya, kali ini untuk pertama kalinya aku melihat Agustus marah. Kalau ruangan ini bisa menggambarkan emosi seseorang, sudah pasti ruangan ini hangus terbakar karena memang Agustus sedang marah besar sekarang.
      
“Kamu juah lebih beruntung daripada aku, Gus.” Aku mengulangi perkataanku dengan tatapan lurus ke arahnya.
      
Seketika, pipiku terasa sangat panas. Agustus menamparku, dia benar-benar menamparku. Aku tidak mempedulikannya. Semua orang pasti bereaksi yang sama setelah aku mengatakan dia beruntung saat dia sudah kehilangan seseorang yang berarti. Tapi aku tidak bisa berbohong, dia memang jauh lebih beruntung dariku.
      
“Kamu benar-benar tidak mengerti, Feb. Apa kamu tahu betapa sedihnya aku saat itu? Apa kamu tahu betapa kesepiannya aku? Apa kamu tahu betapa marahnya aku pada semesta? Kamu masih mengatai ku beruntung setelah semua itu? Kamu tidak tahu apa-apa, Feb, karena kamu hanya kehilangan seorang teman.”
      
Aku menamparnya dengan sangat keras sekitar dua sampai tiga kali lebih keras dari tamparannya padaku tadi. Tidak, aku tidak marah. Aku hanya, aku hanya berpikir aku harus menamparnya.
      
“Kamu, Putra bukan hanya seorang teman, Gus. Dia juga malaikatku. Hari itu, aku tidak hanya kehilangan seorang teman, tapi juga seorang malaikat. Semesta belum puas, Gus. Setelah mengambil dua hal yang membuat hidupku menjadi abu-abu, semesta mengambil diriku sendiri dan membuatku hidup dalam kegelapan.”
      
Pandangan Agustus yang semulanya tajam, kini mulai meredup.
      
“Setelah kejadian itu, aku divonis dokter mengidap penyakit Alexithymia. Aku tidak bisa merasakan emosi apapun. Semesta benar-benar hanya menyisakan tubuhku saja di dunia ini. Aku ingin marah pada semesta, Gus. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin merasakan kesedihan. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin merasakan kesepian. Tapi aku tidak bisa.”
       
Aura kemarahan Agustus sepenuhnya menghilang setelah mendengar penjelasanku. Aku bisa menebak dia sedang merasa sangat bersalah padaku sekarang.
      
“Setelah semua itu, apa aku salah mengatakan kalau kamu lebih beruntung, Gus?”

***
      

Agustus mengutuk dirinya sendiri selama perjalanan pulang. Kenapa dia sangat bodoh tidak menyadari ini semua? Dia tidak pernah menyadari kalau selama ini Februari mengidap penyakit Alexithymia. Padahal itu sudah terpampang dengan jelas.
       
Ekspresinya selalu saja datar. Dia tidak pernah merasa sedih ketika dia seharusnya begitu. Kepribadiannya sangat rasional.
      
Agustus benar-benat bodoh.
      
Saat dia membuka pintu ampartmennya, Agustus mengerutkan dahi heran saat mendapti seisi apartmen dipenuhi kotak-kotak dengan berbagai macam ukuran.
      
“Apa ini semua?” tanya Agustus heran pada Gio yang sedang asik memakan cemilan sambil menonton televisi.
      
“Hadiah dari beberapa perusahaan serta penggemarmu,” jawabnya dengan pandangan yang tidak beralih dari layar televisi.
      
“Bukankah sudah kubilang tahun lalu untuk tidak perlu memberiku kado?”
      
Gio membuang napasnya kasar. Dengan terpaksa, dia mengalihkan pandangannya pada Agustus yang terlihat sangat frustasi. “Sudah kuperingatkan pada mereka berkali-kali, tapi seperti dugaanku, mereka sama sekali tidak peduli.”
      
Agustus mengacak-acak rambutnya. “Kemas semua ini dan cerikan aku informasi tentang penyakit Alexithymia!” perintah Agustus final lalu berjalan menuju kamar mandi.
      
“Alexithymia? Bukankah itu salah satu penyakit mental yang langka? Siapa yang mengidapnya?” tanya Gio bertubi-tubi dengan raut wajah yang sangat penasaran.
      
“Cari saja!”

***
      

Jauh berbeda denganku, ekspresi seseorang yang ada dihadapanku ini terlihat sangat bahagia dengan senyum lebar yang mungkin bisa merobek mulutnya jika dia memaksanya sedikit lebih lebar lagi.
       
“Kamu kembali datang, Feb,” sambut Dokter Ke dengan penuh semangat.
      
“Hm ….”
      
“Semalam tanggal 31 Desember, bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
      
“Seperti yang Anda lihat, Dokter.”
      
“Apa ada yang ingin kamu ceritakan padaku, Feb?”
      
Dengan ragu, aku mengangguk. “Aku sudah bertemu dengan seseorang yang bernasib sama denganku.”
      
Dokter Ke membelalakkan matanya tampak tak pecaya. “Maksudmu, kamu bertemu dengan seseorang yang juga selamat hari itu, Feb?” tanya Dokter Ke memastikan.
      
Aku mengangguk.
      
“Bagaimana keadaannya, Feb? Apa dia hidup dengan baik?” Dokter Ke tampak sangat  antusias.
      
“Dia … dia berubah menjadi orang yang hebat, Dokter.”
      
Ada jeda beberapa detik sebelum Dokter Ke kembali angkat bicara memecahkan keheningan. “Kenapa kamu terlihat tidak bersemangat, Feb? Apa karena dia tumbuh dengan sangat baik, tidak sesuai dengan ekspetasimu, Feb?”
      
Aku tidak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk mengalihkan topic pembicaraan. “Dokter, apa aku salah mengatakan dia jauh lebih beruntung dariku karena dia hanya kehilangan kedua orang tuanya saja?”
      
Dokter Ke memegang tanganku dengan penuh hati-hati. “Dari kalian berdua, tidak ada yang lebih beruntung, Feb.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang