14 - Datangnya Rasa Sakit

1.2K 99 46
                                    

Gelak tawa seorang pemuda memenuhi ruang minim cahaya itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gelak tawa seorang pemuda memenuhi ruang minim cahaya itu. David sengaja mematikan lampu kamar Gatra. Hanya menyisakan lampu belajar sebagai penerang. Bukan tanpa alasan David melakukan hal itu. Ia hanya tak ingin rasa ibanya muncul karena melihat darah yang Gatra muntahkan.

Yang David buru hanya kernyitan kesakitan Gatra bukan darahnya. Jujur, David tidak suka dengan darah. Siapa juga yang suka dengan darah kecuali vampir? Begitu juga dengan David. Sebenarnya dia jijik melihat darah dan sebab itulah dia mematikan lampu terang dalam kamar Gatra.

Rasa puasnya belum memuncak, David terus menghujani tubuh tak berdaya Gatra dengan tanpa belas kasihan. Kakinya berkali-kali menendang punggung belakang Gatra, dan dengan gerakan cepat, David menarik keras rambut kepala Gatra dari belakang. Membuat sang pemilik mendesis karena sakit yang sudah merajalela dalam tubuhnya.

David tersenyum menatap wajah sayu Gatra. Berdecih kemudian menepis kembali rasa ibanya. Bagaimanapun, David tetaplah manusia yang punya rasa iba.

Tapi untuk saat ini David halau tegas rasa ibanya. Jangan muncul saat ini. Dia harus tertawa puas dan menang. Karena melihat Gatra kesakitan adalah bentuk pelarian kesakitan batinnya.

Selalu saja begini, tak ada perlawanan dari Gatra. Dia selalu pasrah. Mana bisa tubuh kurus itu melawan tubuh besar David. Tangan David saja mampu membungkus kuat tangannya sampai buku-buku tangannya memutih. Apalagi sampai memberontak dan melawan David. Itu sungguh sangat tidak mungkin.

David menatap lekat wajah Gatra yang sudah berlumuran darah. Warna merah itu tersamarkan dengan warna lampu remang berwarna kuning. Sungguh David bersyukur lampu di atas meja belajar itu berwarna seperti itu. Jadi dia tidak harus susah payah menyembunyikan bercak darah itu dan lebih menikmati penderitaan Gatra.

Tak ada yang David ucapkan. Sedikitpun. Dia hanya menikmati raut wajah Gatra yang seperti tengah kesakitan dengan tangan payah menarik pelan tangannya yang mencengkram erat rambut belakangnya. Puas. Smirk David hadir. David puas dengan tanda seperti itu. Satu bebannya terasa menguap tergantikan dengan rasa kemenangan.

Setelahnya, David melepaskan jambakannya dengan begitu saja. Sepertinya ada seseorang yang datang. Cepat-cepat David pergi dari dalam kamar itu. Bukan hal yang sulit untuk kabur dari rumah yang sebelumnya sudah bertahun-tahun ia huni.

Sedangkan Gatra, pemuda itu hanya memandang kepergian David dengan tubuh sudah meluruh dan terbaring miring di atas lantai dingin kamarnya. Hingga pandangannya menyilau ketika David membuka jendela kamarnya untuk keluar dari dalam kamarnya.

"Da-david ..." ujarnya pelan. Sudah kehabisan tenaga dia mencoba meraih David dari jauh. Tapi hanya udara yang ia gapai. Percuma. Tangannya hanya mampu terangkat sepersekian detik hingga akhirnya jatuh begitu saja di atas lantai dan sejajar dengan tubuh ringkihnya.

---------

"Astaghfirullah! Gatra!" pekik Windy. Dia baru saja tiba di rumah dan mendadak gelisah dengan Gatra yang ia tinggalkan seorang diri. Dan saat dirinya sudah berada dalam kamar sang putra, Windy langsung disuguhkan dengan kondisi Gatra yang tergeletak di atas lantai kamarnya. Terlebih lagi dengan bercak darah, semakin membuat Windy kalang kabut kepanikan.

Same (End)Where stories live. Discover now