Chapter 2: Apple of My Eye

17.9K 1.4K 219
                                    

The beauty of a woman must be seen from in her eyes, because that is the doorway to her heart, the place where love resides. 

—Audrey Hepburn

--------------------------

Tubuh lemah Eira dibawa ke salah satu kamar tamu. Raphael mengamati ketika dokter mereka memeriksa keadaan Eira. Sesekali dokter itu berdecak miris saat memeriksa tubuh Eira secara menyeluruh.

"Keadaannya tidak baik, bos." Ucap Jason, dokter yang sudah mengabdikan hidupnya pada "organisasi" ini.

"Aku bisa melihatnya. Aku hanya ingin tahu apa kau bisa mengobatinya."

"Tentu, namun untuk saat ini dia belum sadar, sehingga aku hanya bisa mengobati luka-luka di tubuhnya."

Hati Raphael tersayat mendengarnya secara langsung. Tentu saja ia bisa melihat semua luka-luka itu, ia hanya tidak mau membayangkan apa yang baru saja gadis ini lewati.

Namun ia seketika mengerjap. Perasaan apa ini? Ia tidak mungkin mengasihani wanita yang baru ia lihat malam ini tanpa mengetahui identitasnya, bukan? Dia bukan siapa-siapanya, ia tidak mengenal gadis ini. Siapa yang tahu jika ia adalah mata-mata yang sengaja dikirim lawannya untuk mengawasi gerak-gerik dan rencananya.

Raphael memerintahkan pelayan-pelayan yang berada di ruangan itu, "Kalian tetap disini sampai ia sadar. Kabari aku jika ia sadar." Pelayan itu mengangguk mengerti.

"Kau boleh pergi, aku akan mengabari jika wanita ini sadar."

"Bos." Dokter itu pamit sebelum meninggalkan kamar tamu itu.

Pandangan Raphael tak bergeming dari wajah pucat gadis itu. Matanya yang terpejam erat masih dapat menghipnotis Raphael, yang bertanya-tanya seindah apa bola mata itu. Raphael tidak menyadari kehadiran tangan kanannya, Diego, masuk ke dalam ruangan itu dan mengamati tingkah aneh Raphael.

"Secantik itukah dia?"

Sontak, Raphael menoleh dengan tatapan membunuh, sementara Diego hanya tersenyum jahil. "Aku hanya menebak. Melihatmu tanpa henti menatapnya membuatku ikut tersipu."

Raphael menghela nafas. "Jika aku tidak membutuhkanmu, aku sudah membunuhmu sejak lama."

Diego tertawa santai. Semua orang takut dengan Raphael kecuali dia, tentu saja. "Sebelum kau semakin jatuh cinta, lebih baik kau ke basement sekarang. Dia masih tidak mau bicara."

Mata Raphael menggelap penuh kemarahan mendengar kabar itu. "Aku akan menanganinya, kau kesana dulu saja."

Diego mengangguk mengerti dan menuruti perintah Raphael. Setelah Diego pergi, Raphael masih terdiam dan melakukan kegiatan yang tidak bisa ia hentikan sejak tadi. Dengan berat hati, ia melepaskan pandangan lekatnya dari Eira dan berbalik keluar.

*******

Kedua mata Eira perlahan menangkap sinar matahari yang diam-diam masuk melalui celah-celah tirai yang terbuka. Hal pertama yang ia rasakan adalah betapa tubuhnya terasa sangat sakit hingga terasa tulang-tulangnya retak. Kedua, tubuh kesakitannya yang merasakan kehangatan dan kenyamanan diatas tempat tidur dan betapa seluruh ruangan ini tampak sederhana namun nyaman....dan asing. Ketiga, tatapan kedua wanita berpakaian hitam putih yang membulat ketika bertemu dengan pandangannya. Eira melihat salah satu dari mereka membawa nampan berisi makanan yang menggiurkan.

"Ia sudah sadar." Bisik salah satu wanita itu.

Eira merasa kepalanya terasa berputar pening. "Dimana aku? Ka-kalian si-siapa?"

Kedua pelayan itu saling bertatapan sebelum mereka bersama-sama pergi dari ruangan itu. Tak lama, suara pintu yang dikunci terdengar dan seluruh tubuh Eira membeku seketika.

Apa Bianca, ibu tirinya yang sekejam iblis, berhasil menemukannya dan kembali mengurungnya lagi?

Dengan panik—meskipun kakinya terasa sangat nyeri ketika menyentuh lantai dan kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul—Eira tertatih-tatih berlari kearah pintu dan menggedor-gedor pintu dengan putus asa.

"Buka! Aku mohon bukakan pintunya! PLEASE! BUKA! BUKA!" Eira menjerit dengan putus asa, meskipun ia tidak tahu tidak akan ada yang mendengarkannya atau memedulikannya.

Tubuhnya kembali tersungkur ke lantai dan tangisan penderitaan itu kembali datang. Memori penyiksaan selama 16 tahun perlahan masuk ke dalam pikirannya dan meskipun ia berusaha menepisnya, pikiran itu terus menghantuinya dan membuatnya kembali merasakan sakit itu lagi.

********

Pekikan penuh penderitaan mengaung keras tanpa henti di sepanjang ruangan gelap itu. Sesekali terdengar retakan tulang dan tangisan yang menyayat hati nurani siapapun yang mendengarnya.

Tapi mereka semua tidak memilikinya.

Raphael tidak bergeming melihat anak buahnya menyiksa tawanan mereka. Ini adalah hal-hal yang sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali ia tersenyum mengerikan melihat tawanannya tersiksa, seperti saat ini.

"Stop." Perintah Raphael yang langsung dijalankan oleh anak buahnya. Sementara tangis tawanan itu masih terus bergeming ketika Raphael berjalan kearahnya sambil memainkan pisaunya. Anak buahnya menyiram seember air kearah tawanan mereka yang sudah kehilangan kesadaran.

"Apa sekarang kau akan membuka mulutmu?" desis Raphael kejam.

Masih merintih kesakitan, tawanan mereka terus mengeleng sambil menangis. "Aku tidak tahu apapun, aku berani bersumpah!"

Raphael kembali memainkan pisaunya untuk memberi tawanannya sedikit pelajaran sampai tangan kanannya, Diego, datang. "Raphael, dia sudah bangun."

Informasi itu langsung mengalihkan perhatian Raphael. Ia bahkan melupakan situasi mereka sekarang. "Terus lakukan pekerjaan kalian hingga ia buka mulut. Jangan sampai ia mati." Perintah Raphael yang langsung dipatuhi bawahannya. Raphael berjalan meninggalkan basement mansion-nya.

Tanpa sadar Raphael menyeringai tipis, ia sudah menanti hal ini terjadi sejak semalam. Tepatnya sejak dia datang dengan tak terduga dan mengacaukan malamnya karena rasa penasaran. Dan sekarang ia akan menjawab semua pertanyaan di pikirannya.

********

Tangisan Eira sudah berhenti, namun kehampaan yang ia rasakan tidak hilang dimakan waktu. Punggungnya bersandar pada daun pintu dan pandangannya menatap kosong kearah tembok putih di depannya. Kegiatan yang selalu ia lakukan sebelum merasakan siksaan-siksaan lainnya.

Benar saja, tak lama Eira mendengar derap kaki mendekati pintu kamarnya dan seketika ia menjauh menghindari pintu dengan putus asa. Memutuskan untuk bersembunyi di balik tempat tidur, di sudut ruangan seraya menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di antara lututnya yang ditekuk.

Tubuh Eira bergetar ketakutan dan tangisnya semakin kencang ketika ia mendengar daun pintu itu terbuka diiringi dengan derap kaki yang menghantuinya.

Raphael terkejut melihat pemandangan di depannya. Gadis itu meringkuk di ujung ruangan, terlihat begitu lemah dan berusaha keras menutupi eksistensinya dari siapapun. Rambut hitamnnya yang panjang dan kusut menutupi keseluruhan wajahnya. Raphael bahkan mendengar tangisan kecil yang begitu menyayat hati bergema di seluruh ruangan hening.

Raphael mengelap tangannya yang penuh darah sebelum berjalan menghampiri Eira. Ketika merasakan Raphael semakin mendekat, Eira semakin erat memeluk dirinya sendiri, tubuhnya ia sandarkan selekat mungkin dengan tembok.

"Angkat kepalamu." Ujar Raphael dingin.

Eira tidak bergeming dan masih terisak ketakutan. Kesabaran Raphael benar-benar diuji hari ini. Ia menghembuskan nafasnya berusaha menenangkan diri dan kembali menyuruh Eira. "Angkat kepalamu!" bentak Raphael keras.

Awalnya Raphael mengira wanita ini masih tidak menuruti perintahnya, sampai perlahan rambut itu mulai tersingkap dan kepala wanita itu menegadah keatas. Mata abu-abu Raphael bertatapan dengan mata amber milik wanita misterius itu. Tidak menyadari bahwa detik itu juga, jantungnya berhenti sejenak dan dunianya seakan berputar, terpusat dan masuk ke dalam keindahan mata wanita itu.

TO BE CONTINUE


Snow White and The Mafia - Book IIWhere stories live. Discover now