Chapter 20: Treat You Better

9.3K 1.1K 762
                                    

Halo semua, maaf ya bukan sombong, tapi sekarang aku agak susah untuk bales komen lagi karena aku udah WFO lagi, nulis aja disela-sela waktu kerja, apalagi balesin komen. Apalagi Jakarta tuh macet bgt, aku kan naik mobil pribadi jadi lama bgt sampe rumah. Jadi udah ga sempet untuk balesin komen. Tapi percayalah, aku bacain setiap komen dengan hati berbunga, mohon pengertinyannya ya :D



¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Our wounds are often the openings into the best and most beautiful part of us

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Our wounds are often the openings into the best and most beautiful part of us." 

- David Richo

----------❅❅❅----------

"Tidak, aku belum memaafkanmu."

Senyum di wajahku seketika sirna setelah mendengar kalimat itu. Saat ini aku yakin mulutku terbuka lebar karena tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari mulut Raphael.

"Apa? Jadi kau belum memaafkanku juga?" celetekku begitu saja tanpa sadar.

Jocelyn memang mengatakan Raphael tidak mudah memaafkan seseorang, bahkan cenderung tidak memaafkan. Tapi aku tidak menyangka hal ini membuatku sangat frustasi saat harus berhadapan langsung dengan situasi ini!

Suara kekehan pelan Raphael berhasil menarikku kembali ke dunia nyata. Aku menatapnya heran, beberapa saat yang lalu ia mengamuk seperti raja hutan, sekarang ia terkekeh dengan santainya di kamarku?

"Kau terlihat sangat marah karena aku belum memaafkanmu, Eira," ujar Raphael masih tersenyum kecil melihat reaksiku.

Oh, astaga! Aku yakin pipiku sudah memerah menahan malu. Kenapa reaksiku terlalu agresif? Seharusnya aku tidak berhak berkata seperti itu padanya. "Tunggu, maksudku...," aku mengusap tengkukku kebingungan. Astaga, ini canggung sekali. "A-aku tidak marah, hanya saja—"

"Apa perlu kuingatkan padamu bahwa aku ada hak untuk itu dan seharusnya kau bersyukur tidak kubunuh?" Raphael kembali menunjuk kebenaran tentang betapa konyolnya sikapku saat ini.

Pada akhirnya, aku kembali menundukan kepala merasa bersalah. "Maafkan aku..." cicitku pelan.

Aku dapat merasakan tatapan panas Raphael menghujam kepalaku sebelum suara beratnya kembali terdengar. "Berikan tanganmu padaku," perintahnya sambil membuka kotak P3K yang sebelumnya ia tinggalkan di atas tempat tidurku.

Snow White and The Mafia - Book IIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora