Part 23

2.1K 295 5
                                    

"Bim, sudah makan?" tanya ibu Bimo begitu melihatnya masuk ke rumah.

"Tidak lapar," jawab Bimo lemas. Dia seret kakinya ke kamar. Begitu sampai di sana, Bimo melempar tasnya. Dia berbaring. Mau tidak mau matanya memandang foto Loveyna. Bimo menunggu rasa itu, sengatan di dadanya.

Sesak.

Masih sama seperti kemarin-kemarin. Bimo tetap mengharapkan Loveyna. Gumpalan rasa itu begitu besar. Dia nyaris gila menahan emosi. Dada Bimo sebentar lagi meledak.

Bimo menutup mata. Sial. Dalam kegelapan pun wajah Loveyna masih terbayang jelas di benak Bimo. Garis-garis senyumnya tercetak jelas. Bimo menghela napas. Menyukai seseorang rasanya bisa secapek ini.

Bimo lelah.

Kenyataaan menghantam Bimo. Tenaganya habis. Bimo sudah di ujung kemampuannya. Jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Namun, seluruh alam raya malah berkonspirasi untuk melawan. Semakin dia kejar, Loveyna makin jauh.

Menyedihkan.

Bimo bangkit. Tangannya bergerak otomatis. Bimo tidak berpikir. Otaknya kosong. Yang ada hanya sentakan untuk menyudahi kekacauan ini. Otot-otot Bimo mengambil alih. Dia membereskan segalanya yang berhubungan dengan Loveyna. Entah apa yang merasuki Bimo. Perlahan tumpukan barang mulai meninggi.

Kaus. Buku. Majalah. Pulpen.

Terakhir, fotonya.

Bimo melepas Loveyna dari langit-langit kamar. Rasanya, menyakitkan. Setiap kali memegang barang dari Loveyna, kilasan-kilasan kenangan mampir di kepala Bimo. Bimo menikmati perasaan-perasaan itu. Dia ingin hatinya mati rasa.

Ini seperti berlatih gitar. Jemari tangan bergesekan dengan senar. Kadang-kadang sampai luka. Perlahan kulit menebal. Senar tidak bisa melukai jari tangan lagi.

Ini seperti kanker. Dokter memberi obat. Jaringan merusak itu diangkat. Pisau tajam memotong. Sakit sekali. Berdarah-darah. Hingga jaringan baru tumbuh, lalu badan kembali sehat seperti sedia kala.

Sebagai laki-laki, Bimo harus rasional.

Tidak ada kata selamanya. Yang ada hanya pertemuan dan perpisahan. Napas Bimo terengah. Dia duduk di lantai. Di hadapannya terbentuk gundukan kecil. Sekilas, itu hanya barang-barang normal. Tidak ada yang aneh dari kaus, foto dan majalah. Dijual pun tidak akan laku.

Tapi buat Bimo, benda-benda ini mewakili ribuan memori tentang Loveyna.

Bimo memasukkan semuanya ke kotak kertas. Lalu, dia keluar kamar. Badannya bergerak otomatis. Tahu-tahu, sudah Bimo di depan rumah Loveyna. Bimo menekan bel pintu rumah. Alunan lagu samar-samar terdengar di dalam rumah. Terdengar derap langkah. Kenop pintu bergemeretak.

"Bimo?" Pintu dibuka oleh Ibu Loveyna.

Bimo memaksakan senyum. "Sore, Tante."

"Sore." Kerut di kening Ibu Loveyna jelas menunjukkan beliau heran mengapa Bimo bertindak seperti orang asing. Bimo tiba-tiba sopan, tidak langsung masuk ke rumah.

"Loveyna, ada Tante?" ujar Bimo cepat sebelum beliau bertanya-tanya. "Ada yang mau aku kembalikan."

"Ada. Dia dari tadi di kamar." Ibu Loveyna bergeser, memberikan jalan. "Naik saja ke atas."

Bimo meringis. Tampaknya Loveyna tidak cerita insiden cium bibir kepada ibunya. "Saya tunggu di sini saja."

"Kalian sedang bertengkar?"

"Semacam itu." Bimo mengelak. "Tidak ada yang serius."

"Langsung saja naik ke atas."

Oh, Bimo yakin kalau Bimo naik ke atas akan terjadi perang. Loveyna pasti berteriak nyaring menyuruh Bimo hengkang. "Lebih enak di bawah saja. Lagi pula, tidak sopan masuk ke kamar anak perempuan."

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanWhere stories live. Discover now