Part 9

3.1K 454 14
                                    

Gila. Jantung Loveyna berdebar keras.

"Love, ayo. Sebentar lagi masuk." Rahmi berdiri, menepis debu dari roknya. Patricia mencangklong tasnya seraya melihat jam di pergelangan tangan.

"Duluan saja," kata Loveyna. "Aku ada perlu."

Ini kedengarannya bodoh dan dangkal tapi seketika Loveyna ingin bersahabat dengan Bimo setelah melihat cowok itu menangani "konflik" dengan cerdas. Firasat Loveyna bilang mereka bisa jadi sahabat. Loveyna teringat dengan film-film remaja Hollywood dimana tokoh utama wanita yang hidupnya seru selalu punya sahabat gay. Di novel-novel gaul juga begitu. Loveyna pernah baca artikel di majalah kalau persahabatan dengan cowok gay lebih bisa diandalkan dibandingkan dengan sahabat perempuan.

Loveyna berdiri di depan pintu kelas Bimo, celingak celinguk mencari sosok cowok itu.

"Eh, ada Loveyna," sapa salah satu penghuni kelas. "Ada apa? Ada yang bisa dibantu?"

Loveyna otomatis menunjukan senyum manis. "Lihat Bimo?"

Lawan bicaranya mengerutkan kening. "Ah, baru banget keluar. Mungkin——"

Belum sempat selesai, Loveyna melambaikan tangan. "Makasih, ya."

Loveyna berlari-lari kecil. Siswa-siswa masuk kelas masing-masing ketika bel berbunyi nyaring. Toleransi telat hanya sepuluh menit. Lewat dari itu, Loveyna dianggap tidak masuk jam pelajaran pertama. Loveyna menggigit bibirnya. Bimo tidak akan kemana-mana. Loveyna bisa menemuinya kapan saja.

Ketika lorong mulai sepi, Loveyna bisa melihat sosok punggung berjalan ke lapangan sekolah.

Bimo.

Yeah. Loveyna bisa mengobrol dengan Bimo nanti.

Masalahnya, belum tentu Loveyna punya keberanian lagi. Mumpung sedang panas-panasnya, sebaiknya Loveyna menemui Bimo sekarang. Lebih baik nekat daripada ketinggalan momen.

Loveyna mengikuti punggung Bimo hingga ke pinggir lapangan basket. Tribun bertingkat ramai dengan siswa yang bersiap-siap mengikuti kelas olah raga. Beberapa siswa bermain-main di tengah lapangan. Sisanya duduk di bangku atu selonjoran di rumput menunggu guru datang.

Bimo berjalan di pinggir lapangan, melewati deretan pohon-pohon pembatas. Dia pergi ke ujung, tempat keran-keran untuk mencuci tangan dan kaki dipasang.

"Love!"

Loveyna tidak menggubris panggilan itu. Paling hanya mengobrol tidak penting.

Bimo menunduk di bawah keran. Air mengalir membasuh kepalanya. Dia memejamkan mata, mungkin menikmati suhu sejuk. Beberapa menit berlalu. Air keran menetes ke berbagai arah. Titik-titik mulai merembes ke seragam Bimo. Kalau dibiarkan terus, seragam Bimo akan kuyup.

Loveyna menunggu.

Saat diam begini, Bimo terlihat berbeda. Tidak ada tanda-tanda kemayu sama sekali. Aura feminin Bimo menghilang. Barulah Loveyna sadar kalau cowok ini punya wajah yang menarik. Bimo tidak tampan seperti bintang-bintang iklan. Dia juga tidak kekar seperti atlit. Loveyna bisa melihat Bimo punya sesuatu yang membuat wajahnya sulit dilupakan. Sedikit aneh tapi menarik.

Macho.

Kata itu tebersit di benak Loveyna. Tubuh Bimo tinggi. Bentuk matanya yang unik membuat tatapannya tajam. Meski badannya masih dalam masa pertumbuhan, Loveyna tahu Bimo nanti akan keren.

Bimo mengusap wajahnya.

Gerakan gemulai itu merusak ilusi dalam pikiran Loveyna. Bimo yang sedang diam berbeda 180 derajat dengan Bimo yang bergerak. Aura maskulin yang sempat Loveyna rasakan, menguap entah kemana. Padahal cuma satu gerakan sederhana.

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanWhere stories live. Discover now