Part 7

3.2K 448 10
                                    

Hari masih pagi. Lalu lintas belum terlalu ramai tapi beberapa salesman sudah berdiri di trotoar sambil membagi-bagikan leaflet pada pejalan kaki. Sesekali mereka membagikan pada pengendara motor yang kebetulan melambat di pinggir.

"Dilihat dulu," selembar disorongkan kepada Bimo.

Bimo mengerutkan kening. Dia tidak ingin mengambil. Selebaran seperti ini hanya akan mengotori jalan. Paling-paling dilirik sebentar lalu berakhir di tong sampah. Bimo bisa melihat beberapa orang meremas selebaran sepersekian detik setelah diterima.

"Sedang ada diskon. Hanya sampai hari ini saja." Cara sales itu tersenyum, setengah membungkuk, dan memandang Bimo penuh harap membuat Bimo tidak enak hati.

Sedikit terpaksa, Bimo menerima leaflet. Sales yang memberikan kertas langsung menyapa dan menawarkan iklannya pada orang-orang di belakang Bimo.

Bimo membolak-balik leaflet. Postman bag Bimo sedikit berayun mengikuti langkahnya. Ternyata iklan baju. Seorang anak remaja yang terlalu sempurna untuk jadi kenyataan tersenyum lebar sambil membentangkan T-shirt merek mahal. Senyumnya seolah mengatakan dengan membeli T-shirt itu, siapa pun yang mengenakannya bisa bahagia.

Jadilah berbeda. Jadilah dirimu sendiri.

Kata-kata itu dicetak besar di bagian bawah, dengan warna warni mencolok.

Bimo tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir. Jelas sekali ini jurus menipu remaja tanggung untuk membeli baju kelewat mahal dengan slogan-slogan bohong. Kata-kata seperti ini basi. Terlalu banyak yang mengatakannya.

Apanya yang jadilah berbeda? Kalau memang menjadi unik itu sangat menyenangkan, kenapa anak-anak SMU di sekeliling Bimo terobsesi dengan segala macam pernak-pernik kompakan. Bimo beberapa kali melihat jaket kelas, gelang persahabatan, sneakers yang menunjukan identitas geng.

Apanya yang jadilah dirimu sendiri? Berkali-kali Bimo menunjukan kepribadiannya yang tidak sesuai dengan ekspektasi umum, Bimo malah dianggap makhluk sirkus.

Tidak ada faedahnya menjadi berbeda.

Bimo buktinya.

Sedikit terlalu keras, Bimo menjejalkan leaflet itu asal-asalan ke saku celana. Langkah Bimo semakin cepat. Siswa-siswa yang mengenakan seragam mulai banyak terlihat berjalan menuju gerbang sekolah, satu-satunya jalam masuk. Satpam berdiri dan membantu mengarahkan parkir. Guru-guru kedisiplinan mengawasi atribut siswa. Rutinitas yang sama. Wajah-wajah yang familiar. Beberapa siswa yang sepertinya belum mengerjakan PR panik berlari ke kelasnya. Sebagian yang lain berjalan santai menghabiskan waktu sebelum bel berbunyi.

Baju SMU Bimo masih terlihat baru. Warnanya masih terlalu tajam dibandingkan yang lain. Buat beberapa orang, seragam putih abu-abu ini sakral sebagai penanda momen penting dalam hidup. Ada yang menganggap ini adalah simbol peralihan dari remaja menuju dunia orang dewasa. Manusia seumuran Bimo sekarang memiliki tanggung jawab tambahan. Anak-anak SMU mulai bersiap memasuki dunia sebenarnya. Dan seterusnya dan seterusnya.

Yah, omong kosong semacam itu.

Bimo justru heran kenapa orang-orang bisa histeris karena sepotong baju. Dia sama sekali tidak merasakan perbedaan dengan seragam SMP. Rasanya sama saja. Sama-sama katun. Sama-sama belel kalau terlalu banyak dicuci. Sama-sama jadi kain lap kalau sudah usang. Perbedaan mencolok paling warna dan panjangnya. Di SMP Bimo pakai celana pendek, SMU Bimo pakai celana panjang.

Bimo menunduk ketika melewati taman tempat biasa anak-anak sekolahnya duduk bercengkerama.

"Hei!"

Suara itu menggelegar, cukup untuk menarik dan menghentikan langkah orang-orang.

Bimo terus berjalan.

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanWhere stories live. Discover now