AKHIRAN

50.7K 5.8K 541
                                    

Cepat, pindah, ayo, pikir, cepat, cepat! Kira-kira begitu deskripsi hidupku selama tiga minggu terakhir. Seandainya durasi lebih lama dan jadwal tak sesempit itu, aku pasti akan mengapresiasi kesempatan menjelajahi berbagai kota dan pulau di Indonesia. Secara gratis, pula.

Dari sekian kota yang kusambangi, sejauh ini Lhokseumawe merupakan pengalaman paling mengesankan. Kami sepakat untuk mulai dari barat, dan karena merupakan salah satu kota pertama, kami juga masih menciptakan sejumlah naskah konyol untuk dipilih. Terlalu banyak, malah. Pilihan kemudian jatuh pada skenario Aminah dan Karim, sepasang kakak-beradik dalam keadaan darurat. Aminah mengenakan gamis dan kerudung hitam panjang, tak lupa menutupi wajah dengan cadar berwarna senada, hanya menyisakan sepasang mata. Karim sendiri memakai kopiah hitam di kepala, sarung hijau kotak-kotak, dan baju koko berwarna putih seolah baru saja keluar dari masjid kala Ramadhan tiba.

Meski berhasil lolos dari razia polisi syariah, tatapan menghujat tetap dilayangkan pada struktur wajah Karim yang jelas-jelas merupakan hasil perkawinan etnis minoritas di Aceh sana. Belasan pasang mata usil serba mau tahu itu baru berhenti ketika Aminah dan Karim berhenti di depan rumah besar usang yang tampak mistis dan tak terurus. Aku sebagai Aminah langsung berpura-pura jatuh pingsan, dibopong oleh kakakku menuju bagian dalam rumah. Kakakku berteriak minta tolong dan meneteskan air mata. Cukup dramatis, tapi kurang efektif untuk meyakinkan penjual ganja dan pebisnis narkotika yang berkeliaran.

Tugasnya sederhana, hanya basa-basi untuk menunaikan perjanjian sekaligus meminimalisir dana serta tenaga yang perlu dikerahkan. Alasannya, pengetahuan Nicholas lebih efektif dibandingkan pengakuan sepatah-patah ayahnya di persidangan. Maka, kira-kira begini bunyi tugas kami: cari gudang dan markas lalu lakukan dua kali pengecekan sebelum menyerbu. Koneksi Nicholas terbukti luar biasa mengenai markas-markas kecil di tiap kota. Kami sering terdampar di gedung yang seolah kosong dan terlantar. Kalau sedang tidak beruntung, kami juga perlu mampir ke rumah mewah lengkap dengan CCTV. Namun, bagian tersulit muncul ketika kami tiba di sana. Dari situ, semuanya bergantung pada waktu dan strategi.

Fase pertama, kami masuk diam-diam untuk menghitung jumlah penghuni dan jalan keluar masuk mereka. Selagi di dalam, kami juga diminta untuk memberi gambaran denah rumah dan mendokumentasikan bukti apabila beruntung. Lantas, kami akan memasang alat pelacak yang sekaligus mengirimkan konfirmasi kepada tim yang sudah ditunjuk oleh aliansi BNN dan BIN. Keesokan harinya, kami akan kembali melalui pintu utama.

Untuk fase pertama, tantangan lebih masuk akal: anjing pemburu, kamera pengawas, alarm, hingga penjaga mabok dengan pistol di kantong. Yang paling berat? Kejar-kejaran dengan polisi syariah yang menuduh kami bukan mahram. Itu pun masih belum seberapa dengan fase kedua.

Drama, kostum, dan improvisasi. Harus cepat, menghindari mereka kabur dan mengurangi kemungkinan komplotan yang digrebek memperingatkan komplotan lainnya. Batas kreativitas kami berdua diuji tak terkira. Lama-kelamaan, kami pun tidak peduli skenario apa yang harus dibawakan. Yang paling penting ada gambaran kasarnya. Mau namaku Tukiyem kek, Manohara kek, Royal Jelly kek, yang penting tugas kami selesai.

Ketuk pintu depan, alihkan perhatian, lalu tunggu aba-aba dari pasukan khusus. Semua dikerjakan sambil menjaga agar nyawa kami tidak melayang di tangan golok nyasar maupun pistol ilegal.

"Va, namaku Kevin, ya," pesan Nicholas sebelum kami merangsek masuk.

Kali ini, kami cukup beruntung. Tipikal gedung kotor tak terurus di sudut kota, seolah tanpa penghuni meski di dalam ramainya cukup untuk bertanding sepak bola. Tidak ada anjing dan kamera pengawas.

Kalau siang hari tak banyak yang berjaga, kebanyakan preman sibuk menarik uang perlindungan para pekerja ─ dari hantaman preman itu sendiri tentunya ─ di terminal dan pasar-pasar. Tetapi kami tidak menyerbu siang hari. Kami mencari keramaian. Semakin banyak kepala yang tertangkap, semakin baik pula nilai rapor kami di akhir bulan.

KamuflaseWhere stories live. Discover now