BAB 5: JENG KLINIK HERBAL

82.5K 10.7K 512
                                    

J E N G

K L I N I K

H E R B A L

"Terong masuk. Posisi saya di lantai dua. Saya akan ke sana." Suara Joshua merambat di telingaku.

Sepersekian detik kemudian, suara lain menyahut. "Mangga masuk. Tahan dulu, saya di dekat toko D68. Saya akan coba ke sana. Ganti."

Aku mematikan mikrofon. Kulihat Raka sudah berjalan menjauh tanpa berkata apapun, sesuai dengan protokol penyamaran kami di tempat terbuka. Aku tidak tahu cowok itu akan berjalan ke mana, tapi kutebak dia akan mencoba mencari petunjuk berikutnya. Satu hal yang kukenal betul dari Raka, cowok itu lebih senang bermain di belakang layar, menjadi otak dalam operasi. Sosok yang bermain dengan tali-tali nasib tanpa menunjukkan wajahnya. Raka paling cepat memecahkan masalah, berkebalikan denganku yang lebih sering turun langsung dan beraksi di medan. Sumber masalah menjadi julukanku di angkatan. Paling tidak bisa diam, begitu deskripsi Tanya. Sementara teman-teman selalu berasumsi bahwa di mana pun aku berada, di situ pasti ada masalah. Mulai dari lukisan di ruang kepala sekolah, selang lahar dingin yang malfungsi mendadak, hingga induk laba-laba yang marah karena sarangnya rusak.

Raka sudah tidak terlihat. Aku pun mulai berjalan menjauhi masjid, mengambil arah yang berlawanan. Di sekelilingku toko-toko berjajar, menyisakan jalan kecil yang kotor. Terlihat beberapa pembeli terlibat dalam kegiatan tawar-menawar yang sengit. Aku mengambil ponsel jadul yang baterainya entah hilang ke mana. Jariku mengetik dengan cepat sebelum menempelkan ponselnya di telinga.

"Halo?" sapaku pada teman bayangan. Menurut Leon, ini adalah salah satu cara berbaur paling mudah era sekarang. Tiap-tiap individu hampir selalu sibuk sendiri dengan gawainya hingga tak peduli sekeliling. Jangankan sekeliling, peduli diri sendiri pun tidak.

Aku terus berjalan hingga sudut mataku menangkap besi hitam silinder yang terpasang di tangga. Satu langkah, dua anak tangga terlampaui. Aku tak sabar mendekati lokasi. Adrenalin mulai mengisi celah-celah organ pemompa darah. "Mangga mendekati posisi. Ulangi. Mangga mendekati posisi. D71 A, Klinik Herbal Jeng Anu. D71 B, Toko Buku Nusantara. Ganti." Suara Zhafran kembali muncul lewat earpiece yang kukenakan.

Aku tersenyum senang, tak menyangka berhasil memecahkan kode yang tepat. Tapi senyuman itu hilang secepat kemunculannya. Rasa-rasanya, kode itu terlalu gampang kalau aku saja bisa menebak dengan mudah. Sama sekali tak sesuai dengan ekspektasiku terhadap Leon.

"Man-"

"Selamat datang di Klinik Herbal Jeng Anu! Perkenalkan nama saya Jeng Anu, Ratu Herbal Indonesia. Mau berobat apa, Dek?" Suara feminim menyabotase pembicaraan kami. Nadanya ramah dan bersahabat.

"Zhafran, you're out!"

Deg! Mendengar suara Leon, rasanya jantungku nyaris copot. Bentakan itu menamparku kembali ke dunia nyata, sebuah pengingat akan kelalaian dan kebodohanku. Tentu saja, setiap toko memiliki penjaga. Hanya satu sapaan dari mereka — entah untuk menyambut kedatangan, menawarkan barang, atau ajakan untuk mampir — sudah cukup untuk membuat kami diusir Leon. Pantas saja guruku berkali-kali melarang percakapan dengan orang asing. Misi kami didesain sedemikian rupa sehingga perlu usaha ekstra untuk menghindari hal tersebut.

"Terong masuk. Ada penjaga di masing-masing toko. Mangga sudah pergi. Saran, yang lain? Ganti."

Peraturan ujian akhir tahun selalu sama. Apabila siswa dinyatakan gagal, mereka harus segera kembali ke lokasi awal. Mangga, atau Zhafran, tak ayal sudah berjalan kembali ke mobil van sekolah, menyisakanku dan 12 siswa lain.

"Bit masuk. Nggak mungkin masuk tanpa diketahui penjaga. Apakah mungkin membuat pengalih perhatian?"

"Cabe Merah masuk. Saya punya ide, tapi mungkin bisa dipikirkan opsi yang lain. Apa mungkin salah seorang dari kita berbicara dengan penjaga? Saya tahu melanggar aturan. Semua alat komunikasi juga otomatis dimatikan. Tapi mungkin agen lain bisa menunggu di suatu tempat-"

KamuflaseWhere stories live. Discover now