BAB 21: NENEK MOYANG BUNGLON

61K 8.8K 898
                                    

N E N E K

M O Y A N G

B U N G L O N

Mengacungkan jari tengah ke muka Nicholas sebenarnya alibi saja. Aku gatal mencari alasan untuk melakukan ritual di sekolah ini. Setiap hari tempatnya sama, hanya alasan dan waktu yang berbeda. Kadang aku izin ke kamar mandi pagi-pagi. Kadang aku hilang dari keramaian saat istirahat. Kalau tidak ada guru seperti hari ini, biasanya aku pergi tanpa izin. Sebentar saja, hanya untuk memutari bagian belakang sekolah.

Aku menemukan tempat itu tak disengaja, buah menguping percakapan kakak kelas yang berniat bolos. "Nyebat di tempat biasa yuk," ujar salah satu dari mereka. Akhirnya, aku jadi terbiasa mengawasi gudang terbengkalai di dekat kamar mandi rusak.

Atapnya sudah bolong, warna catnya kusam, dan ada banyak debu yang menumpuk. Kudengar, tempat itu belum dibenahi karena sekolah belum mendapat aliran uang dari pusat. Kebijakan untuk menggratiskan sekolah negeri membuat asupan uang mereka berkurang. Alhasil, banyak yang menjadikan gudang ini sebagai basecamp mereka. Pernah aku mendapatkan Ken sedang duduk dengan Nina, membicarakan seseorang bernama Garin. Lalu ada juga sepasang sejoli yang meremas bagian anatomi kekasihnya di sembarang tempat, napas mereka terengah-engah. Kalau beruntung, aku seharusnya juga bisa menonton transaksi Ken dengan siswa beragam angkatan. Untuk hari ini, aku hanya mendapatkan Ken dan Ghani. Mereka duduk di atas meja usang sambil menatap langit di depan.

"Lo beneran nggak ada stok lagi?" tanya Ghani.

"Udah dijual. Katanya emang lagi abis. Ada razia di pelabuhan, makanya stok temen gue abis."

Aku berjingkat, berupaya mendekat tanpa menimbulkan suara. "Kita ke sana aja abis ini. Lo mau nggak?"

Refleks aku menahan napas. Bau debu dan rokok bukan kombinasi yang menyenangkan. "Gila kali, lo? Bahaya di sana. Nggak mau gue."

"Plis, gue pengen banget, Ken."

"Lo kemaren ambil paling banyak, loh. Mau berapa lagi? Jangan bilang lo sakau beneran? Gue nggak mau ngurusin orang sakau. Kalo guru-guru sadar lo sakau, yang ada gue ikutan kena," tuduh Ken.

Ghaniyu mengeluarkan pemantik api, tak mau kalah dengan asap yang diembuskan temannya. "Ya kali? Nggak mungkin gue sakau. Kemaren gue ambil segitu nggak dipake sendiri, ya."

"Kalo gitu kenapa lo harus ke bandarnya?"

"Sekali-sekali. Emang kenapa? Lo takut?"

"Gue nggak takut."

"Cupu," maki Ghani, nadanya pongah.

"Bukan masalah cupu. Gue masih mau sekolah. Kalo kita kena masalah gara-gara bandarnya, lo mau tanggung jawab? Kalo bokap gue tau, lo bisa ngapain?" Aku jadi bingung. Kalau masih mau sekolah, kenapa perilaku Ken sangat kontradiktif? Kalau dia tidak sudi punya teman sakau, kenapa dia berniat jualan narkoba? Aku kira teman-temanku di Nusantara terlalu jenius hingga susah dipahami, ternyata memahami anak metropolitan jauh lebih menantang.

"Lah, bukannya enak bokap lo jendral?"

"Enak dihajar maksud lo? Udah, ah. Gue nggak mau bahas ini lagi," tandas Ken, menjatuhkan rokok yang ia pegang. Puntung itu lalu diinjak dan dibiarkan menjadi sampah di atas lantai berdebu.

::: o :::

Pelajaran hari ini: jangan pernah curhat sama Ganesha! Gara-gara aku cerita tentang Ken dan Ghani, cowok itu seperti tersambar petir. Kelakuannya jadi sembarangan, sama sekali tidak mencerminkan kesan hati-hati yang melekat dengan dirinya. Masalahnya ya, kelakuan sembarangannya itu menyeret seorang Sari yang polos dan tanpa dosa. Aku jadi panik. Panas, gelisah, takut mati, semuanya bercampur aduk.

KamuflaseWhere stories live. Discover now