BAB 25: PENGHAPUSAN SARI

46.4K 7.4K 649
                                    

P E N G H A P U S A N

S A R I

Pukul enam lebih tiga. Baru satu jam berlalu sejak percakapan terakhirku dengan Leon. Namun rasanya seperti sudah seminggu. Tadinya aku kira Ganesha akan mengajakku menyelundup malam hari. Malam hari. Bukan jam enam pagi di mana kami berdua tidak punya rencana matang dan persiapan apapun selain nyali. Sungguh, aku butuh lebih dari sekadar nyali. Ini bukan uji nyali di mana kami bisa melambaikan tangan tanda menyerah. Yang akan kami lakukan adalah tindakan kriminal terhadap negara. Dendanya besar, masa tahanannya lama. Punya ide untuk menjalankan misi ini saja sudah melanggar slogan sekolah; Pariraksaka Bhuana Chaya, pelindung negara dalam bayangan. Bukan tukang menyelinap dalam bayangan.

Sialnya, argumen Ganesha memang logis. Bukan hanya Ken, posisi ayahnya juga berada dalam kegawatan. Tidak mungkin pemeriksaan barang bukti baru dilakukan esok hari, walau nyatanya sekarang adalah hari Sabtu. Aku yakin ayah Ken sedang mengerahkan semua koneksinya untuk memulai penyidikan hari ini juga, tepat ketika jam kantor mulai. Artinya, aku punya maksimal dua jam sebelum tim Inafis memulai identifikasi mereka.

Dengan modal alat peretas dan laptop garapan Ganesha, kami berdebat setengah jam lamanya. Alot dan berputar-putar. Pilihan kami hanya dua, masuk menyelundup tanpa terlihat, atau masuk sebagai tamu yang diundang. Yang pertama lebih aman, tapi kami butuh waktu lebih. Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menembus kamera pengawas, pemindai sidik jari, pemindai retina, kode rahasia, dan skrining lencana. Pilihan kedua lebih masuk akal. Kami pun sepakat untuk mencuri satu seragam untuk Ganesha. Semoga saja ukurannya sesuai.

Sekilas, tidak ada yang mencurigakan dari dua orang yang duduk di lobi Pacific Place Residence dengan sebuah laptop dan ponsel pinjaman yang kuambil dari dari rak lost and found. Mas-mas di pintu melemparkan senyum andalannya, mempersilakan kami masuk ke dalam. Tentu saja tidak ada pertanyaan aneh, aku masih mengenakan gaun pestaku, Ganesha sendiri masih dengan kemeja dan dasi kupu-kupu yang ia pakai saat menjadi bartender. Kostum kami sesuai dengan gedung mewah yang kami singgahi.

Aku dan Ganesha memilih duduk di deretan sofa putih yang agak di belakang, menghindari telinga-telinga usil. Cowok itu menghabiskan beberapa menit di depan layar, sebelum akhirnya menengadah dan mengangguk ke arahku. Anggukan itu berarti komputer Jenderal Eko kini sedang berkedip-kedip sendiri, kemungkinan juga mengeluarkan asap. Aku langsung menelepon nomor teknisi langganan kepolisian, beralasan butuh mereparasi komputer apartemenku di Pacific Place secepatnya.

Kami langsung berbagi tugas. Aku mengarahkan teknisi ke kamar yang paling dekat dengan tangga darurat, Ganesha mengerjakan keperluan berikutnya. Buat teknisi tersebut tidak sadar, ambil seragamnya, lalu gotong ke tempat aman. Setelah semua selesai, teknisi malang itu kami dudukkan di mobil, tak lupa dipakaikan sarung kotak-kotak untuk menyelimuti pakaian dalamnya.

Prosedur berikutnya lebih menantang. Ganesha, berpura-pura sebagai teknisi malang tadi, harus menelepon kantor pusat reparasi untuk melaporkan komputerku sudah selesai direparasi kemudian meyakinkan operator untuk mengirimnya sekalian untuk memenuhi permintaan di gedung Polri. Pekerjaan kami sangat sensitif waktu. Dosis obat bius yang kuberikan pada teknisi tadi maksimal bertahan dua jam, itu pun jika dia termasuk individu yang bereaksi kuat terhadap obat penenang. Kalau termasuk individu yang resisten, maka kemungkinan terbaik kami hanya satu jam. Dalam jangka waktu sesempit itu, kami harus masuk ke kantor Kapolda dan mendapatkan akses ke komputernya.

Berikutnya Sari datang sebagai tamu resmi, menyerahkan KTP dan data dirinya di pintu utama. Hari ini Sari menggunakan kaca mata dan kawat gigi, menyamarkan kemiripan dengan Gratcheva. Perasaan aneh terus meledekku. Seorang Saritem Widyastuti dengan sukarela memberikan identitasnya ke Polda Metro Jaya sebagai syarat bertemu dengan seorang petugas Bhayangkara Satu. Seumur hidup, tidak pernah kubayangkan kalau Gratcheva akan menyamar sebagai Sari.

KamuflaseWhere stories live. Discover now