BAB 42: ARTI KEBEBASAN

59.3K 7.4K 382
                                    

A R T I

K E B E B A S A N

Satu minggu kemudian.

Angin sore hari menggelitik tengkukku yang bebas. Sejuk, menghilangkan kesan pengap yang biasanya menguasai. Wangi hujan bertebaran di mana-mana, meski langit cerah dan awan hitam sudah pergi. Wangi itu bercampur dengan semerbak bau khas, menghujam indera penciumanku dari segala arah. Kali ini, aku tidak mengernyit seperti biasa. Kakiku melangkah tenang. Tanganku bergerak dengan sendirinya, refleks yang terbentuk dari rutinitas bertahun-tahun. Tuang pakan, isi air, lalu periksa kondisi hewan.

Ayam di Nusantara memang terlalu dimanja. Makan disuapi, mandi dimandiin, rumah dibuatin, bahkan kesehatan pun diberikan dokter langganan khusus, dokter hewan terbaik di kota. Kontras dengan ayam kampung. Mereka harus bekerja membanting tulang untuk mencari makan, bertarung dengan manusia yang mengkonversi tanah menjadi beton dan aspal, mengakibatkan turunnya populasi cacing.

Seandainya bisa melawan, mereka pasti berdemo dengan spanduk bertuliskan Tegakkan Keadilan Untuk Kaum Pemakan Cacing Tanah. Sedangkan ayam-ayam di depanku? Bebas kentut dan berkembang biak hingga beranak-cucu.

"Sar!"

Dahiku berkerut. Apa aku tidak salah dengar?

Ketika berbalik, aku mendapatkan seorang perempuan dengan jaket jins biru dan celana panjang hitam. Rambutnya masih sebahu, persis seperti pertemuan terakhir kami di sini. Yang berbeda justru anak ayam yang kuberikan makan sebelum pergi ke SMAN 116 Jakarta, sekarang mereka sudah besar, kandangnya diisi oleh generasi penerusnya. Dan untuk ayam-ayam yang membuat kami berlarian dulu, mereka sudah dijual, kemungkinan besar menjadi menu di restoran padang.

Betapa waktu cepat berlalu.

"Stella? Kamu ngapain di sini?"

"Ngasih makan ayam, lah? Kan aku harusnya piket sekarang." Dengan peralatannya sendiri, cewek itu memulai ritual pemberian pakan dari kandang seberang. Memang benar, sore ini seharusnya aku piket dengan Stella. Tapi sore ini semestinya piket itu tidak berlaku karena sekolah sudah resmi libur.

"Kok nggak pulang?"

"Aku baru dijemput besok," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan perhatian dari deretan ayam-ayam sekolah.

Karena tidak tahu mau bertanya apalagi, aku lantas kembali ke rutinitas. Melihat ayam-ayam betina saling bercengkrama, aku jadi penasaran, akankah mereka mengingat kami, manusia yang setia mengurusi mereka dari telur hingga dewasa? Beberapa hewan punya kecerdasan yang hebat. Gajah misalnya, mereka tak pernah lupa wajah dan dapat mengidentifikasi jenis kelamin, usia, dan etnis manusia berdasarkan suaranya. Atau orangutan, yang ternyata bisa menangis setelah rumah dan keluarganya hilang dibakar pengusaha sawit. Bahkan, aku pernah bertemu anjing pemburu yang selalu setia, bertahun-tahun mengantar turis tak dikenal melewati hutan menuju pantai, meski kakinya pincang karena oknum tak bertanggungjawab. Sudah begitu, anjing itu hanya dibayar dengan mie gelas instan. Rumornya, anjing itu dan almarhum temannya dicelakai karena dianggap menghambat rezeki orang-orang yang bekerja sebagai pemandu turis.

Kadang, aku menyangsikan pembeda derajat manusia. Hewan-hewan cerdas itu seringkali lebih beradab.

"Kamu tumben nggak marah-marah," komentar Stella.

Aku terhenyak. Seingatku, semua ungkapan kekesalanku selalu dinyanyikan dalam hati. Tak mungkin Stella bisa menguping dari sana.

"Emang biasanya marah-marah?"

"Kamu suka ngomelin ayamnya, kata kamu mereka bau."

"Oh. Mungkin sekarang lagi nggak bau." Aku mengangkat bahu. Wangi hujan memang cukup menutupi bau ayam yang biasanya mendominasi.

KamuflaseWhere stories live. Discover now