BAB 24: JEJAK BIOLOGIS

39.9K 7.1K 446
                                    

J E J A K

B I O L O G I S

Nyeker, berlumuran keringat, kehilangan barang, dan siap dikubur hidup-hidup. Pagi buta begini, aku tidak mengira akan diwakilkan dengan sempurna oleh empat deskripsi itu.

Aku masih terjebak di parkiran. Ganesha baru membalas pesanku setelah aku pindah ke tempat yang lebih aman. Karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kesalahanku, aku pun memintanya untuk membawakan barang-barang penyamaran. Cowok itu datang tak lama kemudian. Panik tergambar di seluruh wajahnya. Sayang kepanikan itu sia-sia, semua sudah terlambat.

"Tolong jelasin kenapa ada orang mati di samping Ken," perintahnya seraya menyerahkan ransel hitam andalanku. Aku berbalik dan melepas jaket serta topi yang kugunakan, tidak punya waktu untuk menjawab.

"Cap-"

"Balik badan," potongku cepat. Aku tak peduli ia menurut atau tidak saat aku melepas kaosku dengan tergesa-gesa. Barulah saat gaun hitam selutut kembali memeluk tubuhku, kudapatkan cowok itu sudah pergi. Dengan menenteng tas, aku berjalan menyusuri celah antar mobil untuk mencari rekan yang tadi kuabaikan. Ganesha ternyata pindah ke dua mobil di samping tempatku berganti baju.

"Ini maksudnya gimana, ya?" cecar cowok itu, terdengar kesal.

"Nanti. Enggak ada waktu. Aku perlu alibi," jawabku, mengembalikan ransel lalu berlari kecil menuju tangga darurat.

"Cabe!" tegur Ganesha, menghentikan langkahku seketika. Aku menunggu hingga irama kakinya menyamai milikku.

"Pisau itu pisauku. Ada kemungkinan sidik jariku. Makasih ya, ranselnya."

"Kok bisa?"

Aku mendesah kesal. Waktuku tidak banyak. "Itu preman yang kemarin, dia bawa pisau. Target ditodong di kamar mandi, aku ngelempar pisau dari bawah bilik. Jangan liat aku kayak aku idiot. Aku pake sarung tangan."

"Sejak kapan sidik jari bisa nembus sarung tangan?"

"Aku nggak pake sarung tangan waktu pura-pura ngegeledah tas di depan target utama." Tanpa menunggu jawaban, aku pun segera lari ke atas, tak sabar menjadi Eva, berlagak polos dan duduk manis di pangkuan Nicholas.

Saat aku sampai di meja pesanan Nina, Nicholas sedang duduk sendirian. Matanya terpejam, setengah sadar, namun langsung terbuka lebar begitu mengenaliku. Tangannya menarikku kasar, memaksaku duduk di sampingnya.

"Kamu dari mana?"

"The dance floor."

Refleks, tanganku terulur untuk mengambil segelas minum di meja. Beberapa sisipan tidak akan membuatku mabuk, kan? Lagi pula, rasanya aku akan tetap sadar sampai esok hari, mengingat masa depanku kini di ujung tanduk. Sekarang merupakan satu-satunya waktu yang kumiliki untuk menenangkan diri. Mereka tidak mungkin menutup mall, terutama jika Jenderal Eko Karnavian tidak mau berita anaknya membunuh orang lain diendus oleh media. Maka langkah paling efektif adalah tetap berbaur, selagi Ganesha menyembunyikan barang-barangku ke tempat aman.

Kejadian pagi ini merupakan bukti nyata bahwa aku sama sekali belum kompeten menjadi agen intelijen. Teledor, bodoh, dan tidak berpikir panjang. Sekolah pasti akan malu. Mana ada didikan mereka yang baru sadar bahwa sidik jarinya kemungkinan tertinggal sesaat setelah pisau itu terdorong keluar dan tidak bisa diambil lagi? Mana mungkin mereka mau bertanggungjawab atas agen yang melakukan kesalahan sedemikian fatalnya, ia bukan hanya mengancam identitas dirinya namun juga seluruh detail operasi? Mana bisa aku punya masa depan di dunia intelijen kalau pada kesempatan pertama saja, aku sudah gagal dengan spektakuler?

KamuflaseWhere stories live. Discover now