3.3

3.2K 567 57
                                    

BAB TIGA PULUH TIGA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB TIGA PULUH TIGA

"I can't imagine anything worse than being required to have fun. "

― Scott Westerfeld

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


"Gita? Bisa tolong pegangi tasku sebentar?"

Gita, yang sedang berjalan menyusuri koridor untuk pergi ke kelasnya dalam damai, terpaksa harus menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah Elang yang entah sejak kapan telah berada di sebelahnya. Tak dipungkiri lagi, kedua alis Gita langsung bertaut sempurna, menunjukkan betapa bingung dan kesalnya gadis itu sekarang.

Elang menatap Gita dengan sebelah alis terangkat sempurna, seolah-olah tengah mengatakan, "Tunggu apa lagi? Ayo cepat lakukan, Budak!"

Ah, enak saja. Memangnya Gita adalah pembantunya? Dibayar pun tidak!

"Nggak mau," jawab Gita ketus.

"Punggungku sakit. Aku harus ikat tali sepatu. Kamu mau melihat tulang punggungku patah?" tanya Elang. Tangan kanannya terjulur menyodorkan tasnya yang kelihatan agak berat.

Gita menghembuskan napas kasar. Dengan tidak ikhlas, gadis itu pun menyentakkan tas tersebut dari pemiliknya, lalu menentengnya di tangan kiri. Napasnya tertahan selama dua detik begitu beban yang cukup berat dari tas itu seperti hendak menenggelamkannya ke lantai.

"Kamu bawa apa, sih?" Gita menyuarakan pikirannya sementara yang ditanya tengah asyik membetulkan ikatan tali sepatunya dengan santai.

Elang mendongak. "Ah, kayaknya itu laptop Raffa yang bikin berat."

Gita meletakkan tas tersebut dengan perlahan ke lantai. Untung saja ia memutuskan untuk bertanya dahulu, karena kalau tidak bisa-bisa ia membanting benda menyebalkan itu saat terbawa emosi tadi.

Baru saja Gita merasa lega karena beban di tangannya sudah berkurang, Elang bangkit berdiri dan menyodorkan tangannya untuk meminta tasnya kembali. Merengut, Gita mengangkat tas anak laki-laki itu lagi dan mengangsurkannya pada sang pemilik.

"Trims," cengir Elang.

"Hmm."

Tanpa menunggu respons Elang, atau mungkin perintah lain darinya, Gita segera melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Rahangnya terkatup rapat. Dalam hati, ia merasa sangat kesal atas perilaku Elang barusan. Namun, sepertinya dia tidak bisa berkomentar macam-macam, karena punggung Elang nampaknya betulan sakit.

Tapi, Elang sendiri-lah yang menimbulkan sedikit retakan di tulangnya itu, bukan? Dia sendiri yang membuat Gita merasa marah sehingga kehilangan akal sehat dan mendorongnya. Yah, Gita akui, ia memiliki andil juga dalam 'kecelakaan' tersebut. Tapi, tetap saja, Gita melakukannya sebagai ... semacam perlindungan diri.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang