2.2

3.9K 635 49
                                    

-

BAB DUA PULUH DUA

"Discussion is an exchange of knowledge; argument an exchange of ignorance."

― Robert Quillen

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita memperhatikan pelajaran dengan setengah hati. Tangan kanannya mencoret-coret bagian belakang buku tulisnya, membuat gambar abstrak yang kurang sedap dipandang, sementara tangan kirinya digunakan sebagai tumpuan bagi dagunya. Tak henti-hentinya, gadis itu terus menguap karena bosan dan mengantuk.

Mata Gita melirik ke arah jam tiap dua menit sekali. Rere, yang duduk di sebelah Gita, harus menahan diri untuk tidak menegur temannya itu karena Gita terus bergerak-gerak dengan tidak sabar bagai orang yang sedang dikejar penagih hutang.

Begitu bel pulang berbunyi, Gita adalah orang pertama yang bersorak di dalam kelas, membuat gurunya yang belum selesai menerangkan materi pada papan tulis langsung menoleh ke arahnya dengan sebelah alis terangkat, dan juga membuat teman-teman sekelasnya melirik padanya dengan ekspresi bercampur aduk — ada yang kaget, ada yang geli, ada pula yang terlihat tidak peduli.

Setelah guru pelajaran terakhir tadi berlalu meninggalkan kelas, Gita langsung bangkit dan merapikan buku-buku dan alat tulisnya. Sambil bekerja, gadis itu bersenandung pelan dengan senyum yang tak kunjung pudar dari bibirnya. Tentu saja Rere merasa bingung akan tingkah teman sebangkunya itu.

Akhirnya, Rere pun membuka mulut untuk bertanya sambil menutup ritsleting tasnya. "Kamu kenapa sih, Git?"

"Aku mau cepet-cepet pulang," jawab Gita tak jelas di antara senandung-senandung kecilnya.

Rere menautkan alis. "Kenapa mau cepet-cepet pulang?"

Gita menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah tengah memastikan agar tak akan ada siapapun yang mendengar jawabannya. Setelah dirasanya aman, Gita mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Rere dengan tangannya membuat bentuk corong di depan mulut untuk membisikkan 'rahasia' tersebut.

"Aku punya anjing," jawab Gita dengan menggebu-gebu. Namun, suaranya tetap pelan, agar hanya Rere yang mendengarnya. "Lucu banget, lho. Namanya Muffin."

"Wah, lucu banget! Kamu foto dong, abis itu kasih tahu aku," sahut Rere ceria. "Kamu pelihara dia di dalem rumah?"

Gita menggigit pipi bagian dalamnya, kemudian menggeleng. "Dijaga sama temanku. Aku belum kasih tahu Mama-Papa."

Rere manggut-manggut. Namun, belum sempat Rere membuka mulut lagi untuk berkomentar, sebuah suara menyebalkan menginterupsi percakapan keduanya. Suara tersebut adalah suara seorang anak laki-laki berpipi agak tembam yang kalau berbicara, ucapannya tidak pernah disaring terlebih dahulu.

"Ah, masa', sih? Betulan temanmu tuh, Git? Bukan imajinasi kamu aja, 'kan?" Anak laki-laki itu, Neo, berkata. Di sebelahnya, berdiri Elang yang sedang memperhatikan wajah Gita, dan juga Raffa yang sedang asyik memainkan game di ponselnya.

Tangan Gita terkepal. "Kayaknya kamu deh, yang terlalu banyak berimajinasi! Indra itu nyata. Dia juga baik banget dan nggak suka ngurusin urusan orang lain, nggak kayak kamu yang rese!"

Neo mengangkat kedua alisnya, berpura-pura kaget. "Aku tersinggung."

"Ya — bagus! Nggak ada yang peduli juga!" sembur Gita kesal, lalu menggendong tas ranselnya dan menarik Rere agar pergi bersamanya.

Indra ke-6Where stories live. Discover now