0.8

5.7K 905 108
                                    

-

BAB DELAPAN

"Life begins at night."

― Charlaine Harris, Dead Until Dark

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya

"Merasa lebih baik?"

Gita menoleh pada Indra yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua duduk di salah satu bangku taman, sambil menatap lampu-lampu gantung yang menyala indah mengelilingi taman tersebut. Sebetulnya, pemandangan itu biasa saja dan Gita bisa melihatnya di mana saja, namun entah mengapa, lampu-lampu di sini terlihat luar biasa indah saat ini dan Gita bisa betah duduk dan menatapnya sampai besok pagi.

Sambil tersenyum, Gita mengangguk. "Makasih, ya."

Indra membalas senyumnya. Mereka berdua kembali duduk dalam diam, sebelum akhirnya Indra berdeham. Rambutnya yang agak panjang bergerak tertiup angin, dan tangannya yang pucat saling bertaut satu sama lain. Wajahnya terlihat tengah serius memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya dia menatap Gita.

Gita balas menatapnya.

"Kamu nggak perlu sedih," kata Indra, "Maksudku, soal mamamu. Dia pasti bakalan sembuh."

Gita menunduk untuk menatap sepatunya yang ikatan talinya mulai mengendur. Namun, dia tidak mau repot-repot membetulkannya dan merusak momen ini. "Yah. Kalau aja aku bisa se-yakin kamu."

Indra masih menatap Gita. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah salah satu lampu. "Kamu lihat lampu itu?"

"Lampu itu kenapa?" tanya Gita heran sambil ikut-ikutan mendongak.

"Dia menyala mulai petang. Dia memberikan cahayanya untuk menerangi taman rumah sakit ini, untuk membantu orang-orang supaya nggak tersesat atau tersandung sesuatu. Tapi, sewaktu matahari muncul, dia harus padam dan harus beristirahat untuk sementara waktu."

Alis Gita masih berkerut. "Oke, terus apa hubungannya?"

Indra tertawa. "Maksud aku, semuanya yang ada di dunia ini punya manfaat dan kelebihannya masing-masing. Dan semua yang datang pasti harus pergi. Sama kayak manusia. Pasti, suatu hari, kamu akan meninggal."

"Kamu malah bikin aku makin takut, tahu?"

Cengiran di wajah Indra melebar. "Poin utamanya, selagi kamu masih bersinar, kamu harus gunakan waktu itu untuk menyinari orang-orang di sekitar kamu. Sebelum akhirnya kamu terlanjur padam."

Gita terdiam. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Indra.

"Dan soal mamamu, selagi dia masih ada di sini, kamu harus membantu dia buat menerangi sinarnya. Karena saat ini, sinar mama kamu itu lagi redup," lanjut Indra, "Aku nggak tahu kamu paham atau nggak. Intinya, kamu nggak perlu sedih. Selagi mama kamu masih ada, kamu harus pergunakan kesempatan itu semaksimal mungkin. Ngerti, 'kan?"

Gita masih menatap Indra. Keheningan sejenak menyelimuti mereka, sebelum akhirnya Gita bertepuk tangan. Indra menatapnya dengan heran, dan Gita pun tertawa.

"Makasih lagi, lho," kata gadis itu. "Omong-omong, kata-katamu keren. Kamu mau jadi psikolog atau motivator gitu, ya?"

Jakarta,

saat ini

Ternyata film horor yang kami semua tonton di rumah Cleo siang ini lebih seram dari dugaanku. Pada awalnya aku tidak terlalu membesar-besarkannya, dan justru aku-lah yang menghibur Cleo dan Rani ketika mereka berdua ketakutan sewaktu ingin pergi ke kamar mandi. Tapi, ketika aku sudah berada di kamar, sendirian, dengan lampu yang sudah padam, semuanya betul-betul berbeda.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang