0.7

6.2K 936 41
                                    

-

BAB TUJUH

"Our perfect companions never have fewer than four feet."

― Colette

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Papa memperbolehkan Gita untuk menginap di ruang rawat inap Mama malam ini. Jadi, Papa pun pulang untuk mengambil bantal dan pakaian ganti, sementara Gita duduk di depan ruangan mamanya karena jam pemeriksaan dokter sedang berlangsung.

Lorong rumah sakit yang dinding dan langit-langitnya dilapisi warna putih tidak henti-hentinya dilalui oleh orang-orang. Perawat dan dokter yang kelihatan sibuk, pasien yang mendorong gantungan infus-nya sendiri untuk berjalan-jalan, dan mungkin kerabat-kerabat pasien dengan mata merah dan wajah yang terlihat lelah.

Dan dari sekian banyak orang yang berlalu lalang di depannya, tidak ada satupun yang mau repot-repot memperlambat langkah mereka untuk sekadar tersenyum pada Gita. Hal itu benar-benar membuat Gita merasa kesepian dan bosan.

Gita mengeluarkan buku catatan kecilnya dari dalam tas. Diletakkannya buku itu di pangkuannya, kemudian dia pun kembali mengaduk-aduk tasnya untuk mencari alat tulis apapun yang bisa dia pakai untuk menulis dan menggambar. Gita sedikit menyesal karena tidak memungut spidol pemberian Stefi yang tadi sore jatuh ke kolong jok mobilnya, karena dia sangat membutuhkannya saat ini.

Gita harus cukup puas dengan sebuah pensil berujung tumpul yang memberikan warna abu-abu pucat ketika dia menggoretkannya di atas kertas. Setelah berpikir sejenak, Gita memutuskan untuk menggambar wajah mamanya, yang meskipun tidak mirip, dia berusaha untuk membuatnya sebagus dan secantik mungkin. Di sebelah gambaran potret wajah mamanya itu, Gita menulis sederet kalimat.

Semoga Mama cepat sembuh. Aku nggak suka bau rumah sakit. Mama harus bisa main bareng-bareng lagi sama aku.

"Kamu bisa gambar?"

Jantung Gita nyaris copot ketika dia mendengar suara itu di dekat telinganya. Dengan refleks, Gita menutup buku catatannya dan buru-buru menoleh ke asal suara. Di sebelahnya, duduklah Indra dengan cengirannya. Pakaian anak laki-laki itu sudah berganti menjadi kaus polos berwarna putih dan celana cokelat se-lutut.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Gita langsung.

Indra melirik jam dinding. "Sekitar semenit yang lalu?"

Gita menghembuskan napas. Dia memang sering tidak memperhatikan sekitar kalau sedang sibuk dan fokus melakukan sesuatu, jadi wajar kalau dia tidak menyadari Indra datang. Gita menatap Indra sejenak, lalu memasukkan pensil dan buku catatannya kembali ke dalam tas.

"Kenapa dimasukin?" tanya Indra polos.

"Rahasia. Kamu nggak boleh lihat," jawab Gita misterius sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

Indra menggumamkan sesuatu yang tidak dapat Gita dengar dengan jelas, kemudian ikut menyandarkan tubuhnya. Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa menit.

"Mama kamu sakit apa?" tanya Indra pada akhirnya.

Gita menggeleng. "Nggak tahu. Katanya kecapekan."

Indra manggut-maggut. Lalu, dia sedikit memiringkan tubuhnya agar dapat menatap Gita dengan jelas. Gita meliriknya dengan bingung.

"Apa?" tanya Gita.

Indra ke-6Where stories live. Discover now