0.4

7K 1K 73
                                    

-

BAB EMPAT

"Even when I'm sleeping, I go to places where you are."

― Crystal Woods, Write like no one is reading

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


"Papa?"

Gita menatap ke arah papanya yang berdiri di depan pintu dengan dasi tergantung longgar di leher. Papa tidak pernah memakai pakaian kantor dengan seenaknya kecuali dia sedang terburu-buru. Gita tidak terlalu mempedulikan hal itu, tetapi dia bingung mengapa bukan mamanya yang menjemputnya. Mama sudah berjanji. Mama bukan orang yang ingkar janji.

Papa tersenyum lemah pada Gita. Salah satu tangannya terjulur ke depan, meminta Gita untuk meraihnya. Gita menoleh sejenak pada Stefi yang mengintip di balik pintu, lalu melambaikan tangannya. Setelah itu, dia meraih tangan papanya. Papa langsung menuntunnya ke arah mobil dengan langkah lebar dan cepat.

"Pa, Mama di mana?" tanya Gita sembari kesulitan mengejar langkah papanya.

Papa mengeratkan genggaman tangan mereka. "Kita mau ke Mama."

Gita mengerjapkan matanya. "Mama di mana? Kenapa kita yang ke sana?"

Papa hanya memberikan senyum yang sama tanpa menjawab. Dibukanya pintu mobil, dan Gita pun merangkak naik dengan ekspresi takut dan bingung. Papa duduk di balik kemudi, lalu menyalakan mesin tanpa membuang-buang waktu.

Gita menoleh ke arah pintu lagi, dan Stefi masih berdiri di sana. Tangan kanannya melambai-lambai pelan, seolah dia bingung harus melakukan apa. Gita membalas lambaiannya dengan wajah yang dibuat ceria.

Mobil Papa mulai melaju. Perlahan-lahan kecepatannya terus bertambah, membuat Gita ketakutan karena teringat cara mamanya mengemudi siang tadi. Gita menarik sabuk pengaman dan memasangnya, kemudian tangannya mencengkeram pintu. Papa melirik sejenak ke arahnya, lalu menurunkan kecepatan mobil.

Papa menyalakan radio. Gita menghembuskan napas lega. Setelah itu, selain suara musik klasik yang diputar di radio, perjalanan di isi oleh keheningan. Gita ingin bertanya lagi pada papanya, namun dia tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban. Jadi Gita hanya memperhatikan pemandangan di luar yang tidak jauh berbeda dari apa yang dia lihat ketika dalam perjalanan menuju rumah Stefi tadi.

Lama kelamaan, pepohonan berganti menjadi gedung-gedung, jalanan yang awalnya sepi berubah ramai. Laju mobil Papa sedikit tersendat akibat macet, dan kesempatan itu digunakan Gita untuk bertanya kembali.

"Pa, kita mau ke mana?"

Papanya terkekeh kecil. Tangannya bergerak untuk mengecilkan volume radio, kemudian dia menoleh pada Gita. "Sebentar lagi sampai. Sabar, ya."

"Oke," Gita menghela napas.

Gita menghadap ke depan. Lautan kendaraan dan bunyi-bunyi klakson membuatnya mual dan malas. Dia menunduk untuk memperhatikan spidol yang diberikan Stefi. Seulas senyum langsung menghiasi bibirnya yang mungil.

Mobil berbelok, kali ini sedikit menanjak. Hal itu memaksa Gita untuk kembali mendongak. Wajahnya berubah pias begitu dia menyadari Papa membelokkan mobilnya ke pintu masuk rumah sakit.

"Pa? Mama di mana? Mama jenguk temannya? Mama nggak sakit, 'kan?" tanya Gita. Spidol pemberian Stefi terjatuh dari tangannya, namun dia terlalu panik untuk memungutnya.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang