Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat

15.9K 1.7K 28
                                    

Para mahasiswa atau anggota panjat tebing mulai saling bergantian memanjat tebing. Sementara salah satu memanjat, yang lain memegangi tali yang mengikat dengan pemanjat. Aku enggak begitu tahu atau familiar sama panjat tebing. Ini pertama kalinya aku melihat langsung latihan panjat tebing, karena sebelumnya aku hanya lihat di TV saja.

Selama menunggu aku cari kesibukan sendiri, baca ulang daftar pertanyaan, baca buku yang aku bawa, tulis apapun yang ada di pikiranku sekarang di buku harian, dan lainnya.

Cukup lama juga waktu sudah berlalu. Latihan seperti ini pasti makan banyak waktu, apalagi kalau sampai keasyikan. Karena aku merasa haus jadinya aku mengambil minuman dari kotak yang dibilang Nico tadi. Banyak jenis minuman yang ada di dalam kotak, tapi aku milih botol air putih saja. Lagipula aku merasa enggak enak karena ini kan gratis. Cuman air putih juga cukup, yang penting dingin!


Setelah mengambil botolnya, ada seorang laki-laki yang jalan mendekat.

"Mau ambil minum ya? Silakan." tawarku sambil membukakan kotak tempat minumannya. Sebenarnya aku enggak perlu menawarkan juga, lagi pula ini kan tempat latihan mereka.

"Mbak yang mau wawancara kak Nico ya?" tanyanya setelah mengambil salah satu botol minuman dari kotak.

"Iya." jawabku dengan agak bingung.

Apa Nico yang cerita ya?

"Jadi mbak wartawan ya?" tanyanya lagi.

"Yaa... bisa dibilang gitu, lebih tepatnya aku bekerja sebagai editor. Tapi pekerjaannya kurang lebih sama seperti wartawan, menulis artikel juga."

"Oooh..."

"Memangnya kenapa?"

"Oh? Enggak... Mbak terlalu cantik aja buat jadi wartawan. Aku kira mbak model atau pacarnya kak Nico." ujarnya. Aku hanya bisa ketawa saja.

"Hei, Leo! Kalau kamu udah ambil minumnya cepat balik lagi ke sini!" teriak Nico dari jauh.

"Iya, kak!" sambil senyum-senyum laki-laki bernama Leo itu pergi kembali ke teman-temannya.

Tadinya aku mau kembali duduk lagi, tapi tiba-tiba...

"Mbak wartawan!" teriak seseorang. Aku yang merasa dipanggil jadi menengok, dan ternyata yang berteriak itu Leo.

"Ayo sini! Coba panjat tebing juga!" lanjutnya.

Apa?! Apa aku enggak salah dengar?

Belum rasa kaget aku hilang, si Leo itu berlari ke arah aku.

"Ayo mbak!" serunya dengan girang sambil menarik lenganku untuk mendekat ke gerombolan mereka.

"Tapi... aku enggak bisa." kataku dengan nyali yang ciut.

"Ya kan, dicoba dulu. Daripada diem aja kan?" aku enggak bisa menolak ajakan si Leo ini. Tenaga aku tentu saja kalah dengan dia yang tinggi besar.

"Udah dibilang jangan. Dasar kamu tuh!" ujar Nico sambil memukul bahu Leo ketika kami berdua mendekat.

"Kasihan kan mbak wartawannya didiemin aja, daripada sendirian duduk di sana mending gabung sama kita di sini." balas Leo.

"Maaf ya, anak satu ini memang suka jahil dan enggak pernah ada yang bisa ngelarang dia karena saking bandelnya." ucap Nico kepadaku. Aku sih hanya bisa senyum-senyum saja. Senyum pahit.

"Tapi kalau kamu enggak mau juga enggak apa-apa kok kita enggak akan maksa." lanjut Nico.

Yaa... Mau gimana lagi? Kalau nolak juga aku terlanjur sudah di sini.

SEMPURNA [END]Where stories live. Discover now