Bab 15 : Pengakuan

13.8K 1.4K 19
                                    

Hari-hari yang berat dan penuh beban akhirnya berlalu. Sekarang aku melewati hari-hari dengan kesibukan seperti biasanya. Kerja, kerja dan kerja. Work work work work work. Ups, sorry...

"Jadi kemarin Dennis benaran ikut temenin kamu pergi check kehamilan ke dokter?" tanyaku dengan enggak percaya.

"Iya, dia ditelepon mamahku. Mamah bilang kalau kita berdua mau pergi check ke dokter, terus mamah tanya dengan galaknya apa Dennis mau ikut. Pas dia bilang mau ikut, aku pikir kalau Dennis ikut secara terpaksa karena ajakan plus ancaman dari mamah. Tapi waktu di depan dokter, Dennis kelihatan gugup banget, malah melebihi aku. Terus kita kan dikasih lihat keadaan janinnya di monitor, walaupun Dennis enggak bilang apa-apa tapi keliatannya dia terkesima."

"Mungkin Dennis sendiri juga merasa tersentuh dan speechless ngelihat calon bayi kalian."

"Iya..."

"Bayi? Bayi apaan? Siapa yang hamil? Kalian berdua hamil?" seru Gita yang tanpa aku dan Karina sadari, sepertinya dia sudah cukup lama mendengarkan pembicaraan kita.

"Kamu hamil, Yu?" Gita bertanya sekali lagi.

"Enak aja! Ngaco kamu! Gimana aku bisa hamil, kalau cowok aja enggak punya. Lagian aku masih waras ya." gerutuku.

"Jadi yang hamil...?" Gita menggantung kata-katanya. Aku dan Gita pun bersamaan melirik kepada Karina.

"Ya ampun! Karina! Selamat ya!" seru Gita dengan riangnya. Senangnya Gita bahkan melebihi Karina sendiri waktu pertama kali dia tahu sedang hamil.

"Makasih, Ta." balas Karina dengan tersenyum bahagia.

Teriakan dan keramaian Gita itu membuat seluruh orang di kantor jadi datang menghampiri, dan ketika mereka tahu kabar gembira ini mereka pun satu per satu memberi selamat kepada Karina. Inilah alasannya kenapa aku dan Karina tidak memberitahu yang lain, terutama pada Gita, karena sudah terbayang kegaduhan yang akan dia buat. Tapi teman seperti Gita juga diperlukan untuk memeriahkan suasana. Lagi pula berita baik memang seharusnya dibagi-bagi agar kebahagiaannya terasa berkali-kali lipat.

"Permisi!" teriak seseorang yang langsung menghentikan keramaian di ruang kerja.

"Saya mencari Audy. Apa orangnya ada di sini?" tanya wanita itu.

Melihat wanita itu, sepertinya aku kenal... Oh! Kalau enggak salah dia manajernya Miranda.

"Mbak Erika?" seruku sambil berjalan menghampirinya. Begitu aku memanggilnya, dia pun melihat kepadaku dan tersenyum.

"Boleh kita bicara sebentar?" pintanya.

"Iya. Aku permisi sebentar ya." aku pun pergi keluar dari ruangan kerja bersama mbak Erika.

"Udah lama kita enggak ketemu ya." ucap mbak Erika.

"Iya, mbak. Ada keperluan apa mbak cari saya?"

"Mmm... kalau enggak mengganggu dan kalau kamu ada waktu, bisa ikut aku temuin Mia sebentar?" permintaan mbak Erika itu cukup membuatku bingung.

"Miranda? Memangnya dia ada di sini?"

"Iya, dia lagi ada pemotretan di atas. Jadi gimana? Bisa?"

Sebenarnya aku agak ragu untuk menjawabnya. Lagi pula kira-kira ada urusan apa ya Miranda cari aku?

"Aku sendiri juga enggak tahu kenapa Mia minta bawa kamu buat nemuin dia." ujar mbak Erika yang seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.

"Ya udah, kalau gitu kita temuin Miranda sekarang?" akhirnya aku memutuskan untuk menemui Miranda.

SEMPURNA [END]Where stories live. Discover now