Bab 9 : Masalah Baru

12.7K 1.3K 17
                                    

Seminggu udah aku istirahat di rumah. Dan perban kaki juga udah dilepas. Selain itu aku juga udah enggak merasa sakit lagi setiap kali melangkah dengan kaki kananku.

Hari ini aku kembali masuk kerja. Orang-orang di kantor tentu aja menyambutku dengan kaget tapi juga gembira melihat aku kembali masuk.

"Kenapa kamu udah masuk lagi? Padahal kalau kamu cuti kerjanya lebih lama lagi tugas ngewawancarai Nico pasti bakal diserahin ke aku." celetuk Gita. Mungkin enggak semuanya senang dengan kembalinya aku.

"Bercanda kok, Yu. Lagian kalau aku yang dikasih tugas ngewawancara Nico, yang ada aku cuman bakal pandangin tuh mukanya yang cakep selama wawancara dan enggak fokus kerja." canda Gita.

"Kalau tugas itu diserahin ke kamu, aku juga enggak keberatan kok." aku ikut meladeni candaan Gita.

"Yaa... andai aja mbak Lilian berpikiran sama kayak kamu. Tapi kamu tahu kan mbak Lilian enggak bakal kasih tugas sepenting itu sama aku."

"Kamu benaran udah enggak apa-apa, Yu?" tanya Karina begitu aku duduk di kursi kerja aku.

"Iya, kaki aku udah sembuh total kok. Oya... gimana kabar kamu sendiri?" aku mulai bicara agak pelan. Meskipun aku menanyakan kabar Karina, tapi yang aku tanyakan ini bukan hanya kabarnya saja.

"Oh itu... Dia masih enggak mau pulang ke rumah." Karina pun menjawabnya dengan pelan. Sepertinya Karina mengerti maksud aku.

Keadaan sepertinya masih belum membaik antara Karina dan Dennis. Bahkan kalau aku perhatikan wajah Karina terlihat agak pucat.

"Dan ada masalah lain..." Karina terlihat agak ragu untuk mengatakannya.

"Masalah apa lagi?"

"Ikut aku sebentar ya." Karina menarik tanganku dan membawa aku pergi dari ruangan kerja.

Karina membawa aku ke toilet wanita. Dia bahkan memastikan tidak ada orang lain di dalam toilet selain kita berdua.

"Ada apa, Rin?" tanyaku.

"Sebenarnya aku... akhir-akhir ini merasa enggak enak badan, dan aku baru sadar kalau aku udah telat haid selama seminggu. Terus aku coba test pack dan... hasilnya positif." ucap Karina.

Aku tertegun setelah mendengar cerita Karina. Harusnya aku langsung mengucapkan selamat kepada Karina, tapi karena situasi sekarang ini yang enggak begitu menggembirakan. Aku jadi tidak bisa langsung memberi selamat atas berita yang sangat menggembirakan ini.

"Jujur, aku bingung harus gimana sekarang. Harusnya aku merasa senang sekarang ini. Wanita mana sih yang enggak mau hamil kan? Tapi... aku enggak bisa sepenuhnya merasa senang. Bahkan kamu juga kaget kan dengar kabar ini?" ujar Karina dengan raut wajahnya seperti akan menangis tapi juga terlihat kebingungan.

"Enggak, bukan itu maksud aku. Aku minta maaf. Aku... turut senang dengar kabar baik ini. Ini berita yang menggembirakan kan, jadi harusnya kamu merasa gembira. Aku ucapin selamat buat kamu." ucapku dengan tersenyum dan memegang kedua tangan Karina dengan erat. Karena bagaimana pun ini adalah kabar gembira dan harus diberi selamat.

"Apa kamu udah kasih tahu kabar ini ke Dennis atau orang tua kamu?" tanyaku.

"Belum, kamu orang pertama yang aku kasih tahu tentang kabar ini. Soalnya kalau aku kasih tahu orang tua aku, mereka pasti bakal tanya tentang Dennis. Sedangkan aku masih belum siap kasih tahu masalah aku dan Dennis sama mereka. Dan kalau aku kasih tahu Dennis tentang kehamilan aku ini, kayaknya dia juga enggak akan kasih tanggapan apa-apa dan tetap cuek aja."

"Jangan ngomong kayak gitu dong, Rin. Gimana juga kan Dennis suami kamu, kalau dia tahu kamu hamil pasti dia juga bakal ikut senang."

"Haaahhh... Aku enggak tahu lagi deh, Yu. Dari awal kita berdua pacaran dia memang tipe cowok cuek dan bersikap semaunya. Sampai kita nikah pun dia tetap seperti itu. Aku membiarkan dia begitu karena aku enggak mau memaksa dia untuk berubah. Karena aku takut kalau dia merasa terkekang dia akan pergi ninggalin aku. Tapi sekarang... ternyata tetap aja, keadaannya jadi kayak gini juga." Karina sepertinya meluapkan segala keluh kesahnya selama pernikahannya dengan Dennis.

SEMPURNA [END]Where stories live. Discover now