Bonus : Triple Sweet Date 2

11.3K 931 10
                                    

Pandangan mereka berempat jadi terfokus pada aku dan Nico. Tiba-tiba rasanya malu juga jadi pusat perhatian seperti ini. Aku melihat ke arah Nico, untuk melihat reaksinya. Nico mengalihkan pandangannya agar tidak bertatapan dengan yang lain. Apa dia juga merasa malu?

"Kalau aku... tentu aja, aku juga memikirkan masa depan hubungan kita berdua." Nico bicara lebih dulu. Lalu pandangan mereka beralih kepadaku.

Sekarang aku benar-benar jadi salah tingkah.

"Aku... Tentu aja, aku juga sama." jawabku.

"Kalau menurut pandangan aku sih. Ibunya Audy udah setuju. Mamah Nico juga setahuku kayaknya juga udah setuju. Cuman yang bikin terhalangnya rencana masa depan itu karena..." tiba-tiba Cici menghentikan omongannya.

Lalu aku bisa merasakan kalau lirikan matanya sedang mengarah kepadaku.

"Memang ibu cerita apa ke kamu? Terus memangnya kamu pernah ketemu sama mamahnya Nico? Jangan sok tahu deh!" celetukku kepada Cici.

"Enggak usah ketemu atau cerita apa-apa juga pasti udah ketahuan kali, Dy. Semua ibu pasti mengharapkan hal yang sama, kalau anaknya udah punya pasangan. Udah kelihatan banget kan ibu sama mamah kalian kasih lampu hijau." ujar Cici.

Tiba-tiba Nico mengulurkan tangannya ke Cici. Lalu Cici membalasnya dengan menepuk telapak tangan Nico.

"Kenapa kamu tos-tosan sama Cici?" aku jadi jengkel.

"Enggak apa-apa. Cuman... Cici ternyata pintar baca pikiran orang juga ya." ucapan Nico itu tentu saja membuatku semakin jengkel. Aku langsung memukul lengannya Nico.

"Aww!" waktu Nico teriak, aku langsung mengelus lengannya.

"Kayaknya Nico masih ngambek tuh, karena kamu enggak ikut dia ke Belanda." kata Cici.

"Masa? Emang iya?" aku bertanya ke Nico untuk memastikan.

"Hah? Enggak kok. Aku enggak marah. Cuman... sayang aja, kamu enggak ikut." jawab Nico.

"Tapi kamu senang-senang dan banyak ngobrol sama ayah dan keluarga di sana kan?" tanyaku lagi.

Nico mengangguk. "Oya, aku juga bawa oleh-oleh buat kalian dari Belanda. Ada di mobil sih. Nanti sebelum kita pulang, aku kasih ke kalian."

"Oleh-oleh apa? Cokelat?" tanya Cici dengan antusias. Pasti saja kalau tentang makanan, Cici langsung bersemangat.

"Sebenarnya aku juga beli cokelat dari sana, tapi enggak banyak. Soalnya takutnya meleleh di perjalanan." jawaban Nico ini langsung membuat Cici cemberut, "Jadi aku bawa miniatur kincir angin buat kalian."

"Makasih, Nik. Jadi ngerepotin. Enggak usah hirauin Cici. Dia memang panda si tukang makan." ucap Koko, "Udah, sayang. Nanti aku beliin cokelat buat kamu." Koko coba menghibur Cici tersayangnya.

"Tapi aku mau cokelat yang dari Belanda." Cici mulai menggerutu.

"Cokelat dari Indonesia juga banyak yang enak. Nanti kita jalan-jalan cari cokelat yang enak! Oke?" ujar Koko. Akhirnya Cici mengangguk setuju dan berhenti cemberut.

"Aku udah cerita ke ayah tentang kamu. Dan katanya, kalau ada kesempatan dia mengundang kamu ke sana. Atau sebaliknya, kalau ada waktu yang tepat, ayah dan mami mau datang ke Indonesia. Dan kalau bisa ketemu sama kamu. Kamu enggak merasa keberatan kan?" cerita Nico kepadaku.

"Enggak kok. Malah, aku enggak sabar buat ketemu ayah dan mami kamu minggu depan." ucapku.

"Iya, aku juga. HAH?! Apa maksud kamu minggu depan?" Nico terlihat bingung.

"Mmm... sebenarnya... selama seminggu ini aku komunikasi sama ayah dan mami kamu. Terus juga cerita tentang rencana mereka berlibur ke sini. Tadinya kita mau kasih kejutan buat kamu. Tapi yaa... aku pikir enggak ada salahnya cerita ke kamu sekarang. Dan juga-" sebenarnya masih ada yang mau aku bicarakan. Tapi tiba-tiba Nico memeluk aku.

"Ni... Nico... Kenapa?" aku jadi tiba-tiba gagap.

"Makasih." ucapnya sambil masih memelukku.

"Ciee... sebegitu senangnya Nico bisa mempertemukan calonnya ke keluarganya." tentu saja Cici tidak melewatkan kesempatan untuk menggodaku.

Nico lalu melepas pelukannya.

"Tapi, gimana ceritanya kamu bisa komunikasi sama mereka?" tanya Nico.

"Mami kamu kirim DM ke aku. Katanya, mami tahu akun sosial media aku setelah lihat foto kita berdua, yang kamu post waktu kita pergi ke museum. Setelah itu aku cukup sering saling kirim pesan sama mami kamu." jawabku.

"Kamu ngobrol sama maminya pakai bahasa Belanda?" dasar Cici.

"Pakai bahasa Inggris lah!" balasku, "Oya, mami kamu juga bilang, nanti kalau bisa mau ketemu sama ibu aku."

"Oh ya..? Maaf ya, kamu pasti jadi ngerasa enggak nyaman. Tenang aja, kalau kamu merasa keberatan, enggak usah kamu lakuin. Mungkin mami cuman pengen kenal lebih dekat sama kamu. Aku harap kamu enggak salah paham sama niat mami." Nico terlihat merasa bersalah padaku.

"Aku enggak salah paham kok. Dan aku juga tahu niat mami kamu itu baik. Aku udah cerita tentang ini sama ibu, dan ibu setuju. Lagian enggak ada salahnya kan saling mengenalkan keluarga kita masing-masing." jelasku.

"Makasih." Nico kembali tersenyum.

"Ah, dan... aku bilang ini supaya enggak ada salah paham antara kita berdua." dengan hati yang berdebar aku menyampaikan sesuatu kepada Nico, "Aku mau menikah sama kamu, tapi aku enggak mau pernikahan yang terburu-buru. Dan aku mau menikah bukan karena enggak bisa hidup tanpa kamu. Tapi karena aku mau menghabiskan hidupku bersama kamu."

Semua orang sepertinya terkejut dengan ucapanku yang tidak terduga ini. Cici dan Karina bahkan sama-sama menutup mulut mereka karena saking syoknya.

"Iya, aku juga." tanpa menghiraukan teman-teman kita yang lain, Nico mengelus rambutku sambil tersenyum padaku, "Love you."

"Love you, too." balasku tanpa malu-malu.

"AKH!!" Cici dan Karina berteriak histeris bersamaan.

"Kenapa aku ngerasa iri sama mereka ya? Padahal aku kan udah punya suami yang sah." celetuk Cici.

"Aku juga." Karina ikut setuju.

"Sayaaang... I love youuu..." ucap Cici pada Koko.

"Iya, aku tahu."

Cici menyenggol lengan Koko dengan sikunya, karena balasan Koko tidak sesuai harapan Cici.

"You know how much i love you, darling." akhirnya ucapan Koko membuat Cici tersenyum.

Karina pun menatap Dennis sambil cemberut karena iri.

"I love you, hunny. Dan aku akan mengatakannya setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, sampai kamu bosan." ujar Dennis sambil merangkul Karina.

"Oww... so sweet!"

Dan, triple date ini pun tiba-tiba berubah menjadi lomba menunjukkan kasih sayang. Untungnya hanya untuk sebentar. Karena kita semua sama-sama saling tidak tahan melihat kemanisan masing-masing.

Meskipun begitu, ini kencan yang menyenangkan!

SEMPURNA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang