9

13.7K 923 1
                                    

Seorang asisten rumah tangga lewat di depanku dengan membawa sapu, dia tersenyum padaku sambil mengangguk hormat.

"Kamu tahu dimana ruang belajar Dikal?" Tanyaku menahannya.

Masih tetap tersenyum dia menjawab, "tahu Pak, Bapak berjalan lurus dari sini dan belok kanan sedikit di situ ada sebuah pintu bertuliskan 'dilarang masuk'. Itu kamar belajar Den Dikal."

"Terima kasih," spontan aku berhenti, sejak kapan aku mengucapkan terima kasih pada seseorang?

"Sama-sama Pak."

"Sudahlah, lupakan."Ku kibaskan tangan dan cepat meninggalkannya.

Lurus kedepan dan belok kanan lalu cari pintu bertuliskan dilarang masuk. Nah, itu pintunya dengan api cemburu yang masih berkobar ku hampiri pintu tersebut dan tanpa mengetuk pintu lebih dulu aku langsung membukanya, disitu terlihat Dikal dan Dina sedang duduk  berseberangan membuat sesuatu. Origami berbentuk burung bangau, berbagai macam kertas warna berserakan di atas meja dan sebagian burung bangau itu telah memenuhi satu toples besar yang ada di meja belajar Dikal. Aku yakin mereka membuat origami tersebut bukan hanya hari ini saja. Perlahan aku menarik napas lega ternyata ke khawatiranku tidak terbukti, Dikal dan Dina tidak melakukan apapun, tidak seperti yang aku bayangkan.

"Mas Fere." Dikal menyapaku karena dia yang paling dulu menatap kearah pintu melihatku, sementara Dina diam membelakangiku, dia sama sekali tidak membalikan badannya atau hanya sekadar untuk tersenyum, menyapaku.

"Ada apa Mas?" Pertanyaan Dikal membuat aku sedikit bingung harus menjawab apa, aku tidak mungkin bilang padanya kalau aku dibakar api cemburu dan mengesampingkan traumaku hanya karena aku mencurigai apa yang sedang dilakukan adik sepupuku bersama guru les privatenya.

"Ehm..." Aku diam sesaat sambil berpikir, "Mamamu menyuruh aku untuk memanggil kalian," sesaat Dikal menatapku curiga, mungkin saja ketika mereka belajar sampai jam berapapun Om Indra ataupun Tante Lily tidak pernah mengganggunya.

"Untuk?" Tanyanya.

"Ya untuk makan malam, masa untuk mengajak kalian fitnes." Aku pikir mereka akan tertawa mendengar leluconku tapi nyatanya aku harus menelan ludah pahit.

"Teh Dina akan makan malam di sini kan Teh?" Bukannya menjawab leluconku Dikal malah bertanya pada wanita yang sedang anteng membuat origami.

"Teteh minta maaf, tidak malam ini Dikal." Suara lembut itu kembali ku dengar, rasanya ingin sekali aku berbicara banyak hal dengannya.

"Mama dan Papa pasti kecewa," Dikal pintar sekali merajuk.

"Ada banyak urusan yang harus diselesaikan, lain kali saja ya?" Aku mendengus dari ambang pintu, tentu saja orang seperti Dina ini selalu banyak urusan setiap malamnya. Kamu hanya dibodohinya Dikal.

"Kalau begitu, aku tidak akan turun dan makan malam. Aku ingin disini saja." Dina tampak lelah dengan menarik napas panjang,

"baiklah, untuk malam ini saja hanya malam ini." Akhirnya Dina menyetujuinya dan Dikal tampak girang,

"Kalau begitu ayo." Dengan semangat dia membereskan buku pelajarannya dan menyimpannya di dalam rak gantung yang sengaja di pasang Om Indra untuk buku pelajaran Dikal. Tidak hanya itu Dikal juga meraup origami yang sudah jadi dengan kedua tangannya dan memasukkannya kedalam toples kaca.

"Ayo," Dina pun tampak sibuk memasukkan barang pribadinya kedalam tas yang dibawanya.

"Yuk Mas." Rupanya Dikal berjalan keluar ruang belajar terlebih dahulu.

Ini kesempatanku untuk berbicara dengan Dina selagi tidak ada orang di sekeliling kami, kulihat Dina tampak gugup dan gelisah, ia juga ragu untuk melewatiku yang sedang berdiri diambang pintu menunggunya.

"Maaf," Dia menundukkan wajahnya sambil memegang erat tali tas yang tersampir di bahunya. Dia berusaha melewatiku tanpa melihat kearahku.

"Sebentar," Ku pegang lengannya ketika dia telah berhasil lewat, "Aku ingin bicara denganmu, sebentar saja." Dina membeku dan dengan dingin dia menatap tanganku yang secara tidak sadar aku memegang lengannya erat. Kurasakan tangan ini menyentuh kulit lembutnya.

"Kalau tawarannya yang kemarin, maaf aku bukan orangnya!" Dia menggeliat dan berusaha melepaskan cekalan tanganku di lengannya,

"Ibumu masuk rumah sakit, dan aku yakin kau membutuhkan uang untuk pengobatan ibumu dan... Tentu saja tawaranku masih berlaku, pikirkanlah."

Plak tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di pipiku dengan keras, Dina menamparku? Hal yang sangat sulit untuk di percaya. Dia marah karena aku menginjak-injak harga dirinya, tadinya aku yakin wanita seperti dia bisa dengan mudah diajak tidur oleh siapapun asal orang yang mengajaknya berani membayarnya.

"Aku bukan wanita seperti yang kau pikirkan selama ini! Dan aku tidak akan pernah meminta bantuanmu!" Dina menatapku galak sekaligus terluka, manik matanya memperlihatkan banyak sekali kebencian disana.

"Sekalipun kau adalah pelacur, aku tidak keberatan sama sekali. Aku membutuhkan tubuhmu dan kau membutuhkan uangku. Impas, tidak ada pihak yang dirugikan." Sekali lagi Dina hendak menamparku tapi dengan cepat ku pegang tangannya erat, sampai Dina meringis kesakitan. Perlahan ku lepas cekalanku, sampai menimbulkan tanda merah di pegelangan tangannya, apa aku mencengkramnya sekeras itu? Sungguh aku merasa bersalah telah menyakitinya.

"Kau pikir aku akan merendahkan harga diriku. Jangan berharap terlalu tinggi!"

"Kita lihat, siapa yang akan menang." Kuancam Dina dan meninggalkannya begitu saja, aku marah sudah sangat marah dengan penolakan wanita sombong itu, dia harus mendapatkan balasannya.

Kuturuni anak tangga dengan cepat sambil menghubungi seseorang, "Risman, lakukan sekarang juga, malam ini!" Klik ku tutup telepon sepihak.

Dina harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya padaku.

***

Ku betulkan kemeja danim yang aku pakai sebelum kakiku melangkah menuju ruang makan. Disitu sudah ada Om Indra dengan keluarga sempurnanya menungguku, maksudnya menunggu aku dan Dina.

Tanpa basa-basi aku duduk di samping Dikal yang langsung mendapatkan protes darinya, tapi pelototan dan omelan Tante Lily membuat Dikal diam sambil menatapku tidak suka.

"Harusnya Teh Dina yang duduk disini, bukan Mas Fere." Gerutuknya sambil bersengut-sengut.

"Kalian bukan muhrim." Jawabku membalas gerutukakan Dikal penuh kemenangan karena di bela Ibunya. Dengan begini aku bisa menatap Dina sampai makan malam berakhir.

Dina menuruni anak tangga dengan lambat dan hati-hati dia bahkan menundukkan wajahnya seolah-olah takut terjatuh, dengan sedikit ragu dia berjalan kearah kami dan tersenyum ramah pada Tuan rumah.

"Selamat malam semuanya," sapanya, entah mengapa setiap mendengar suara lembutnya, jantung ini berdetak lebih cepat sampai aku khawatir mendapat serangan jantung mendadak.

"Hai... Duduk Din, duduk." Tante Lily yang sedang menuangkan air putih pada gelas kami menyuruh Dina untuk duduk disampingnya, tepat berhadapan denganku.

Dina mengangguk tanpa berani menatapku, dia menggeser kursi dan duduk dengan gerakan anggun dan lambat,

"Bagaimana belajarnya Din? Dikal tidak ngeyel seperti biasanya kan?"

Dina membuka mulutnya hendak menjawab pertanyaan Om Indra, tapi Dikal mendahuluinya, "Bukankah peraturan di rumah ini tidak boleh bertanya apapun selagi makan."

"Kami belum makan apapun Dikal." Jawab Om Indra.

"Sekarang memang belum tapi sebentar lagi acara makan malam akan segera dimulai. Jadi Papa, tolong simpan pertanyaan Papa itu untuk beberapa jam kedepan." Mendengar jawaban Dikal yang selalu punya alasan membuatku sedikit tersenyum, sangat jelas Dikal bergaul dengan Dina yang selalu punya seribu cara untuk menolakku.

Sekilas Dina menatapku dengan mata almondnya, dalam sesaat aku tidak berkedip sedikitpun. Mata bening itu, mata almond berwarna dark brown yang selalu menghantuiku setiap saat. Mata milik wanita itu, mata yang sangat aku benci sekaligus aku rindukan. Tatapan mata frustasi yang seolah-olah ingin mengakhiri hidupnya.

Tidak, Dina tidak boleh mengakhiri hidupnya seperti wanita sialan itu!

***

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang