11

50.4K 1.9K 22
                                    

Author POV

Dina menatap Fere dari jarak yang tidak terlalu jauh, ia menarik napas panjang dan mempersiapkan diri sebelum kakinya melangkah untuk mendekat, kegugupan mulai menguasainya, tangannya dingin seketika sampai tidak sadar ia memegang tali tasnya erat. Perlahan ia mendekati Fere dan berdiri tepat di belakangnya.

"Fere tunggu." Dengan susah payah Dina memanggil namanya ketika ia melihat Fere hendak membuka pintu mobilnya.

Fere diam sesaat, lalu tidak berapa lama ia membalikkan badan dan menatap Dina heran, ia ingin mendengar Dina memanggil namanya sekali lagi tapi kalau ia menyuruhnya, Dina pasti tidak akan mau, "ada apa?" Tanyanya dingin seperti biasa.

Kembali Dina terdiam, entah mengapa lidahnya tiba-tiba kelu. Kata-kata yang telah di susunnya hilang begitu saja ketika Fere menatapnya.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya Fere lebih lanjut.

"Ehm..." Bibir Dina bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar, sehingga Dina kembali terdiam.

"Atau kamu butuh tumpangan untuk pulang?" Melihat Dina yang hanya diam saja Fere kembali bertanya,

"tidak." Jawab Dina akhirnya,

"lalu?"

Dina memberanikan diri menatap langsung ke arah manik mata Fere, manik mata berwarna morion itu balas menatapnya, untuk sesaat mereka berdua saling menatap dan menyelami apa yang ada di pikiran masing-masing meski tidak menemukan apapun.

"Ap... Apa... Apa tawaranmu masih berlaku?" Dina merasa harga dirinya terhempas sampai kedasar jurang, ia begitu malu bertanya demikian. Tapi tidak ada jalan lain lagi baginya karena kalau tidak Ibunya akan meninggal.

Fere menarik bibirnya sedikit, tanpa disadari siapapun ia tersenyum merasakan kemenangannya, "aku sudah tidak menginginkanmu," Jawabnya sombong dan kembali berbalik hendak membuka pintu mobil, seolah-olah ia sudah tidak peduli lagi.

Bukan Dina namanya kalau langsung menyerah begitu saja, ia berjalan kedepan Fere dan menutup pintu mobil dengan punggungnya, "Ak-aku... Aku menerima tawaranmu, itu kan yang kamu inginkan?" Kedua tangannya masih berada di belakang tubuhnya, menahan pintu mobil agar tertutup, ia harus mendapatkan uang itu malam ini juga, bagaimanapun caranya.

"Awalnya iya, tapi sekarang tidak lagi, tolong minggir." Fere menyuruh Dina untuk tidak menghalangi pintu mobilnya.

Dina diam dan menggeleng pasti, sulit di percaya Dina begitu keras kepala. "Minggirlah, jangan halangi aku." kembali Dina menggelengkan kepalanya.

"Baiklah apa maumu?" Akhirnya Fere menyerah.

"Ehm... Itu..." Dina sempat menarik napas lega, tapi kegugupan tidak bisa ia hindari dan kata-kata yang telah disusunnya buyar begitu saja, yang ada dalam pikirannya sekarang hanya uang dan cara mendapatkannya, tentu saja untuk pengobatan Ibu. "U...uangmu, aku membutuhkan uangmu." Hening, Fere diam seperti mempertimbangkan sesuatu sama halnya dengan Dina, Dina diam menunggu jawaban yang akan di berikan Fere.

Tidak berapa lama Fere tersenyum seolah mengejek, dia lalu menggeleng dan kembali menyuruh Dina untuk tidak menghalangi jalannya, "Tolong minggir sedikit,"

Dina membulatkan matanya tidak percaya pria sombong itu menolaknya, menolak tawaran yang telah ditunggunya selama dua minggu. Padahal ia sudah memberanikan diri dan dengan susah payah menekan harga dirinya.

"Kalau masalahnya tamparan tadi aku... Aku minta maaf," Dipejamkannya matanya supaya amarahnya tidak meledak dan kembali menampar pria dihadapannya itu.

"Aku sudah memaafkan tamparanmu itu, sekarang aku mohon, minggirlah." Fere berusaha meraih handle pintu mobilnya.

"Aku mohon," Dina memegang tangan Fere, memohon merendahkan harga dirinya, berharap Fere merubah keputusannya.

Fere hanya diam dengan mengatupkan mulutnya dan dengan paksa menarik pintu mobil supaya terbuka meski Dina tetap berdiri di depannya.

Keegoisan Fere sudah sangat melukai Dina, seandainya Dina punya uang, ia tidak akan pernah memohon dan merendahkan harga dirinya di hadapan Pria seperti Fere, diakuinya ia memang sudah sangat keterlaluan telah menampar Fere tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu kasar dan sangat merendahkan, Fere pantas mendapatkan tamparan itu, ia tidak menyesalinya sama sekali.

Dina benar-benar putus asa, Pria yang ia harapkan dapat menolongnya menolak tawarannya begitu saja. Kecewa, marah dan putus asa semua menjadi satu dan mengaduk-aduk hatinya, tanpa disadari air matanya kembali mengalir membasahi pipinya, dengan kasar Dina mengusapnya dan menarik napas kecewa.

Ditatapnya Pria yang menolak tawarannya itu dan tiba-tiba saja ia memeluk tubuh kekar Fere, tanpa berniat untuk melepaskannya, ia memeluk tubuhnya, memberikan kehangatan di antara dinginnya angin malam.

Pelukan Dina adalah pelukkan yang sangat ingin dirasakan Fere, pelukkan hangat dan menenangkan jiwanya yang sepi, ia butuh sandaran, butuh teman untuk berbagi, ia butuh wanita yang mengerti akan dirinya dan Dina adalah orang yang tepat, dari pertama Fere melihatnya Fere tahu kalau Dina adalah sosok wanita yang dibutuhkannya.

Fere sempat memejamkan matanya menikmati pelukkan Dina, sesuatu yang basah, lembut dan manis melumat bibirnya lalu menempel disana tanpa pergerakkan apapun. Dina menciumnya, memberikan ciuman yang setiap malam selalu diimpikan Fere.

Perlahan Fere mulai mendorong tubuh Dina supaya menempel pada pintu mobil, ia mulai mengecap bibir manis itu, melumatnya dengan lambat, menjelajahi setiap sudut yang mampu dijangkaunya, ia mulai menghisapnya dengan rakus seolah-olah ia tidak akan pernah merasakannya lagi, ciumannya menjadi lebih intens dan menuntut. Ia bahkan tidak mengijinkan lawannya untuk mengambil napas walau hanya sedikit.

Setelah dirasa cukup puas, ia melepaskan bibir merah itu secara perlahan dan tanpa melepas kontak mata diantar mereka. Ia terus menatap wanita dihadapannya, ini bagai mimpi yang menjadi kenyataan.

"Masuklah," Bisik Fere dengan tangan masih mengurung tubuh Dina. "Kita akan membicarakan semuanya tapi tidak disini," Fere menarik tubuh Dina kedalam pelukkannya, tangan kirinya melingkar di pinggang Dina sementara tangan kananya berusaha membuka pintu mobil.

Dina hanya bisa menatap kearah Fere tanpa berkedip, ia merasakan jantungnya bergemuruh hebat, dan kakinya begitu lemas sampai sulit untuk digerakkan. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya dan menyuruhnya untuk tetap tersadar sampai Fere akan membawanya pergi yang entah kemana.

Kecemasan dan kekhawatiran terlihat jelas di wajah Dina, ia tidak bisa menyembunyikannya sedikitpun, bahkan sampai beberapa kali tangannya memegang erat tali tasnya dan menggigit-gigit bibir bawahnya, sesekali matanya melihat kearah Fere yang tengah bersiap menjalankan mobilnya.

Fere tersenyum, entah senyum itu ditunjukkan untuk siapa, yang pasti dia sudah merasa menang dari Dina dan sebentar lagi ia akan menguasainya. Menguasai semuanya termasuk tubuhnya yang selalu membangkitkan hasratnya.

Mobil yang dikemudikan Fere berhenti tepat di depan gerbang, menunggu seseorang membukakan pagar pembatas, tidak membutuhkan waktu lama ketika gerbang terbuka dan seorang security berbadan tambun mengangguk hormat, Fere sempat membuka kaca jendela mobilnya dan memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah pada security berbadan tambun tersebut, "jangan sampai Dikal tahu." Ucapnya dengan nada dingin. Dan si security kembali mengangguk.

Wajah Dina pucat seketika mengetahui ada seseorang yang melihat apa yang telah mereka lakukan di halaman depan rumah Om Indra.

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang