4

54.3K 1.9K 3
                                    

Empat hari sudah Ibu dirawat, selama itu pula Mbak Letta mengacuhkanku karena perdebatan kami beberapa hari yang lalu, dia masih marah dengan keputusanku yang tidak akan menjual tanah Yayasan. Bukan, bukan karena aku mempunyai uang atau aku sudah mendapatkan pinjaman. Aku melakukannya semata-mata hanya untuk menghormati almarhum Bapak. Bapak sangat menyayangi tempat yang ia bangun tiga puluh tahun lalu itu, menjualnya sama saja dengan mengkhianati Bapak.

Katakanlah aku egois dan seolah tidak ingin tahu, tapi dibalik itu semua ada banyak cara untuk mendapatkan uang tanpa harus menjual tanah Yayasan, semisal kita bisa meminjam ke Bank dengan jaminan Setifikat rumah dan Yayasan atau kita bisa meminjam kekerabat yang punya banyak uang.

Dengan tekad bulat aku akan meminjam uang dari Bank karena aku yakin sanak saudara kami tidak akan punya uang sebanyak yang dibutuhkan Ibu, semoga saja aku bisa mendapat pinjaman dan pihak Bank tidak mempersulitnya.

Rencananya hari ini aku akan pergi ke Bank untuk menanyakan persyaratannya sekaligus kalau bisa langsung di proses peminjamannya. Sebelumnya aku harus menjenguk Ibu terlebih dahulu untuk meminta restunya.

Perlahan ku buka ruang rawat inap Ibu dan disitu aku menemukan Ares tengah duduk di sebuah kursi di depan ranjang tempat Ibu berbaring dengan menggenggam tangan Ibu Ares menitikkan air matanya. Dia menangis, tidak ku sangka Ares yang begitu tegar dan kuat bisa menitikkan air matanya seperti itu, padahal selama ini dialah orang yang selalu memberi kami semangat untuk tetap melanjutkan hidup setelah Bapak tiada.

"Res," ku hampiri dia dan mengusap pundaknya, "kita harus tetap kuat. Iya kan Res."

Ares menatapku dan mengusap air matanya, dia mengangguk memperlihatkan ketegarannya, "Iya Teh, Ibu harus sembuh, beliau harus sehat kembali."

Aku hanya bisa tersenyum pilu dan menatap Ibu yang sedang tertidur, "Ibu pasti akan sembuh, kita akan melakukan apapun untuk kesembuhannya."

"Ares dengar Ibu harus menjalani operasi, kapan itu Teh?" Ares memang bukan anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa. Dia sudah besar dan cukup mengerti dengan penderitaan kami.

"Iya Res, secepatnya. Dokter menunggu keuangan kita."

"Apa Teh Dina sudah mendapatkan uangnya?" Tanyanya hati-hati.

"Sampai hari ini belum, tapi aku yakin akan mendapatkan uangnya sesegera mungkin." Kataku optimis, "rencananya hari ini aku akan pergi ke Bank untuk mendapatkan pinjaman."

"Mendapatan pinjaman dari Bank tidak akan semudah itu. Jaminan apa yang akan Teteh berikan?"

"Sertifikat rumah dan Yayasan, aku rasa cukup."

"Meminjam uang ke Bank prosesnya cukup lama Teh, apa Ibu bisa menunggu selama itu?"

"Ya, aku tau. Tapi kita berdoa saja semoga segalanya dipermudah."

"Amin... Kalau begitu, biar Ares yang jaga Ibu."

"Tidak-tidak, kamu harus pulang dan beristirahat. Bukankah siang ini kamu harus kuliah." Kasihan Ares kalau harus menjaga Ibu setelah semalaman dia bekerja, "Ibu biar Teh Dina yang jaga."

Ares hanya diam dan menatapku cukup lama, "Teh," dia memanggilku pelan, "apa sebaiknya Ares cuti kuliah untuk sementara, sementara saja sampai Ibu menyelesaikan pengobatannya."

"Tidak." Jawabku tegas, aku tidak ingin Ares cuti kuliah yang hanya tinggal satu semester lagi. Aku tidak ingin beasiswa yang di dapat Ares dengan susah payah dicabut begitu saja.

"Kamu harus tetap melanjutkan kuliahmu apapun yang terjadi, biar Ibu menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Kamu tidak perlu memikirkan dimana aku mendapatan biaya pengobatan Ibu."

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang