10

59K 2K 22
                                    

Dina POV

Aku diam membeku di depan ruang belajar Dikal, tempat dimana Fere telah melecehkanku dan menganggap aku wanita yang tidak punya harga diri sedikitpun. Tanpa sadar tanganku memegang erat tali tas satchel yang sedari tadi tergantung di bahuku. Aku memikirkan semuanya, merenungkan segalanya. Tatapanya, Kata-katanya, perlakuannya, dan keinginannya yang menurutku tidak masuk akal. Padahal dua minggu telah berlalu, dua minggu yang bisa dilakukan pria normal untuk mencari kepuasan setelah aku menolaknya, tapi Pria sakit jiwa itu masih mengingat tawarannya dan tetap menunggu keputusanku padahal dengan jelas aku sudah menolaknya waktu itu.

Oh, Tuhan, kenapa kau malah mempertemukan kami kembali? Kenapa harus dia untuk menjadi sepupunya Dikal? Kenapa bisa Om Indra mempunyai keponakan yang selalu membuatku ketakutan.

Harusnya dari awal aku sadar, harusnya dari awal aku langsung menyadari ketika Pria sakit jiwa itu memberikan kartu namanya, kartu nama hologram berlogo Pranata group. Logo yang sama dengan yang tertera di amplop ketika Ibu Lily mendonasikan uangnya untuk yayasan. Harusnya aku langsung mengingatnya ketika dia memberikan kartu nama itu.

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Dikal memaksaku untuk ikut makan malam, sementara aku sama sekali tidak ingin berhadapan dengan Pria itu apa lagi satu meja makan. Tapi bagaimana aku harus menolaknya? Dikal jelas akan kembali merajuk dan ngambek lalu tidak ingin makan dan lebih memilih lari ke kamarnya. Penolakkanku pasti akan menimbulkan kekacauan.

Baiklah, sekarang aku harus tenang tarik napas dalam dan hembuskan, lalu turun kebawah menemui mereka dan menganggap pria sakit jiwa itu tidak ada. Fokuskan pada makanan yang terhidang dan jangan pernah menghiraukannya. Tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah mereka dan entah sejak kapan aku duduk dan langsung berhadapan dengannya?

Tidak sekalipun aku menatapnya apalagi menatap mata morionnya, mata penuh intimidasi yang selalu ingin ku hindari. Mata yang selalu menatapku penuh kerinduan, mata dingin yang menyimpan banyak luka, mata yang kelam dan penuh ketegasan. Tiba-tiba saja bulu tanganku meremang, perutku mules seketika, ketika tanpa sadar kami saling bertatapan, meski hanya beberapa detik, tapi efek yang di timbulkan begitu mempengaruhi konsentrasiku.

Aku ingin sekali acara makan malam ini cepat selesai dan terbebas dari tatapannya, terbebas dari pertanyaan-pertanyaan Om Indra yang harus aku jawab, terbebas dari semuanya. Kalau boleh jujur aku lebih suka menjaga Ibu menginap di rumah sakit berhari-hari lamanya di banding harus duduk beberapa jam di sini, di bawah tatapan Pria itu.

***

Akhirnya aku terbebas dari mereka, terbebas dari beberapa jam yang menurutku sangat menyiksa. Secepat yang aku bisa, ku bantu Ibu Lily membereskan meja makan, aku tidak perlu mencuci piring karena sudah ada yang melakukan tugas itu.

Tidak ada yang perlu aku lakukan lagi, aku memilih pamit pulang. Waktu juga sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan aku harus bergantian dengan Mbak Letta untuk menjaga Ibu.

"Perlu Dikal antar tidak Teh?" Senyumku langsung berkembang mendengar perhatian Dikal.

"Tidak usah Kal, sudah terlalu malam juga dan lagi taksi sudah menunggu di depan."

"Kalau begitu Dikal antar sampai depan."

"Jangan repot-repot aku bisa melakukannya sendiri, sebaiknya temani saja keluargamu. Semuanya aku permisi pulang dulu." Aku mengangguk hormat dan berlalu dari hadapan mereka termasuk Fere.

Ku langkahkan kaki dengan ringan menuju pintu depan, aku bisa menunggu di post sampai taksi yang telah ku pesan datang. Pak Satpam yang berbadan tambun juga tidak akan keberatan kalau aku menunggunya disana.

Di tengah perjalananku menuju post, ponsel yang dari tadi aku silent bergetar, tanpa menunggu lama aku langsung menggeser tombol hijau ketika nama Mbak Letta tertera dilayar.

"Ada apa Mbak? Sebentar lagi aku sampai, aku sedang menunggu taksinya datang."

"Dina Ibu..." Mbak Letta begitu panik.

"Ibu... Ibu kenapa Mbak?"

"Ibu kembali drop dan jadwal operasinya dimajukan besok pagi. Tadi Ibu sempat anfal dan di sertai kejang-kejang."

"Besok pagi?" Tanyaku tidak percaya, bukannya Dokter yang menangani Ibu berkata minggu depan, kenapa harus besok pagi? Dan uangnya, aku belum mendapatkannya sama sekali. Bagaimana ini.

"Iya, Dina besok pagi, apa kau sudah mendapatkan uangnya?"

Aku tidak dapat menjawab pertanyaan Mbak Letta, tubuhku lemas seketika, dimana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam? Ibu Lily dan Om Indra harapan terakhirku sudah sangat jelas memberitahukanku meski tidak secara langsung kalau perusahaan yang mereka bangun sedang mengalami pailit dan aku adalah orang yang tidak tahu diri kalau sampai meminjam uang padanya.

Tubuhku melorot, aku terduduk sambil menangisi ketidak beruntunganku. Aku berdoa dan berharap semoga keajaiban datang menghampiriku.

Entah sudah berapa lama aku menangis, aku baru berhenti ketika melihat pintu rumah Ibu Lily terbuka dan pria itu, pria arogan itu keluar dari rumah megah itu. Seketika aku terdiam dan menatapnya yang sedang berjalan menuju mobilnya. Ide itu tiba-tiba saja muncul, ide untuk menerima tawarannya meskipun hal itu sangat melukai harga diri serta egoku.

Demi Ibu, aku rela menjatuhkan harga diriku, harga diri yang selalu aku junjung tinggi. Demi kesembuhan Ibu aku akan melakukan cara apapun.

Perlahan aku berdiri dan mengusap air mataku, menepuk debu yang mungkin saja menempel di pakaianku dan merapikan sedikit rambutku, aku berjalan menghampirinya, menghampiri Pria sakit jiwa itu dengan ragu.

Sesaat aku berhenti ragu, tapi bayangan Ibu yang terbaring lemah membuat tekadku semakin bulat. Aku harus mendapatkan uangnya malam ini.

***

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang