37

50.7K 2.4K 202
                                    

Dina POV

Om Indra datang menemuiku untuk pertama kalinya, sekarang ia sedang duduk di sofa ruang tamu menunggu kesediaanku untuk menemui Fere. Dengan sangat menyesal aku menggelengkan kepala dan meminta maaf, aku belum siap kalau harus bertemu Fere untuk saat ini. Aku masih terlalu sakit hati dan merasa di bihongi oleh orang yang sudah aku percaya.

"Fere sakit, tengoklah dia barang sebentar Din. Siapa tahu dengan kehadiranmu kondisi Fere akan membaik." Kesedihan tampak jelas di wajah Om Indra dan aku bisa merasakan kesedihan itu. Beberapa bulan yang lalu akupun pernah mengalami hal serupa, melihat Ibu terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Tapi tidak ada seorangpun yang peduli dengan kondisiku saat itu selain hanya keluarga dan dukungan orang-orang terdekat. Bahkan ada seseorang yang memanfaatkan ketidak berdayaanku untuk kepentingannya.

"Sekali lagi Dina minta maaf Om, Dina tidak bisa."

"Om tidak memaksamu, tapi sekarang ini kondisi Fere sudah sangat memprihatinkan. Dia tidak makan dan minum selama berhari-hari."

"Separah itu," gumamku tidak percaya, aku pikir Fere akan baik-baik saja setelah aku pergi tapi nyatanya malah sebaliknya.

"Fere sudah dibawa kerumah sakit, jangan terlalu khawatir." Melihat aku yang hanya diam saja Om Indra berusaha menghapus kecemasan di wajahku.

Fere masuk rumah sakit. Sejak kapan? Apakah sakitnya benar-benar serius? Dan sekarang bagaimana keadaannya? Berbagai pertanyaan seputar Fere terlontar di dalam kepalaku tapi, tidak ada satupun yang keluar dari mulutku.

"Dia akan mendapatkan perawatan terbaik dalam pengawasan orangtuanya."

Om Indra benar, jadi kenapa aku harus khawatir dan cemas? Fere sudah di kelilingi orang-orang yang menyayanginya, dia tidak membutuhkanku sama sekali.

"Baiklah, jika kamu sudah tenang dan sudah bisa berpikir jernih datanglah ke rumah sakit. Temui Fere." Melihat aku yang hanya diam saja Om Indra akhirnya menyerah dan bersiap untuk pergi, tapi sebelum meninggalkanku Om Indra tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku. "Om pamit, sampaikan salam Om pada Ibumu."

***

Enam hari sudah aku tinggal di rumah Ibu dengan pikiran tertinggal di rumah Fere. Ya, Tuhan bagaimana keadaan Fere sekarang setelah aku meninggalkannya? Apakah keluarganya merawatnya dengan baik? Siapa yang akan membuatkan omelet untuk sarapannya? Tante Nurah tidak bisa diandalkan sama sekali dan tentunya makanan rumah sakit jauh dari kata enak, Fere tidak akan menyukainya. Aku berani bertaruh kalau Fere lebih memilih dipasangi infus daripada harus memakan makanan rumah sakit.

Kenapa aku harus terus memikirkannya? Bukankah kemarin Om Indra bilang Fere mendapatkan perawatan terbaik di tangan orangtuanya, harusnya aku tidak usah khawatir tentangnya. Tapi sebagai seorang istri yang pernah hidup beberapa bulan dengannya pikiranku tidak bisa sepenuhnya lepas darinya.

Fere yang selalu tersenyum lega jika melihatku berada dirumah setiap ia pulang kerja, Fere yang selalu terbahak jika sudah membuatku kesal, Fere yang selalu tertawa jika aku marah dan Fere yang selalu memelukku erat jika ia sedang ketakutan.

Tanpa terasa air mataku mengalir deras, aku merindukannya, merindukan kebersamaanku dengannya... TIDAK! Aku tidak merindukan orang yang telah berusaha melakukan berbagai cara untuk bisa hidup denganku. Fere hampir membunuh Ibu dan kesalahannya tidak bisa aku maafkan.

Tidak mudah memang memaafkan kesalahan seseorang terlebih lagi orang tersebut telah berani bermain dengan nyawa manusia. Oh, bagaimana seandainya Suster Lani yang bertugas merawat Ibu tidak melaporkan rencana Fere dan Risman pada Dokter Piere. Apa yang akan terjadi dengan Ibu seandainya Suster Lani memilih kerja sama dengan mereka?

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang