22

49.6K 2K 47
                                    

Dina POV

"Ibunya Fere ingin bertemu," bisik Mbak Letta di telingaku, tepat ketika Ibu memilih untuk beristirahat di kamar. Semenjak operasi Ibu menjadi cepat lelah, itu mungkin karena Ibu belum sembuh seratus persen.

"Kok bisa, dari mana dia tahu nomor telepon rumah?" Pasti ada sesuatu yang penting sampai ibunya Fere mencoba menghubungiku.

"Tidak akan susah mendapatkan nomor Yayasan, apa lagi untuk orang yang gila amal seperti dirinya."

"Mbak Letta benar? Tapi dia mau apa?"

"Dia bilang tas tangan kamu tertinggal di rumahnya, barang kali kamu mau mengambilnya? Dia juga menitipkan nomor kontak yang bisa kamu hubungi." Mau tidak mau kejadian dua hari lalu kembali hadir di dalam ingatanku. Perlakuan Fere dan Tante Nurah membuatku tidak nyaman dan kalau bisa aku ingin menghindarinya untuk beberapa waktu kedepan.

Tapi aku sangat membutuhkan ponselku yang tertinggal di dalam tas, bukan hanya itu dompet dan kartu identitas juga ada di dalamnya. Dan yang lebih penting tas dengan harga puluhan juta tidak bisa aku abaikan begitu saja.

"Dimana dia ingin bertemu?" Tanyaku tidak kalah berbisik, sementara tanganku sibuk memisahkan biji pala diatas nampan, begitu pun Mbak Letta.

"Mana Mbak tahu, telepon saja sana. Nomornya Mbak catat di notes yang ada di dekat telepon."

"Aku telepon sekarang." Ku tinggalkan Mbak Letta dan beranjak menuju telepon diruang keluarga.

***

Aku pikir setelah bertemu Tante Nurah dan mengambil tas pemberian Fere, masalah akan selesai. Tapi rupanya Tante Nurah masih ingin bersamaku lebih lama lagi, dia lebih suka melihatku menderita dengan membawaku ke rumah sakit yang bukan milik suaminya. Rumah sakit lain yang tidak terlalu besar, bisa di bilang sebuah klinik tapi terlalu mewah untuk di katakan klinik karena fasilitas yang bisa di dapat cukup lengkap.

Dan disinilah aku sekarang, duduk manis di samping wanita yang katanya berhati malaikat bernama Nurah Larasati, Ibu dari Fere Gerenimo calon suamiku. Kami sedang menunggu hasil medical chek-up yang aku jalani selama kurang lebih dari dua jam. Betapa lelah dan merasa terhinanya aku di suruh melakukan medical chek up yang seolah-olah aku ini memiliki riwayat penyakit menular. Bukan hanya itu aku juga sempat marah dan berdebat panjang tentang tes virginitas yang termasuk di dalam dua belas macam tes yang harus aku jalani.

Tante Nurah sangat keterlaluan melakukan ini semua, kalau saja Fere tahu apa yang dilakukan Ibunya terhadap diriku, mungkin kemarahan Fere akan berkali-kali lipat dan pintu maaf sudah benar-benar tertutup rapat, tidak akan ada lagi kesempatan.

"Tante sudah sangat keterlaluan," Aku tidak merasa cemas sedikitpun tentang hasil yang sebentar lagi akan keluar, tapi aku kurang suka cara yang dilakukan Tante Nurah.

"Ini untuk kebaikanmu," Masih tetap dengan duduk tegak dan dagu terangkat, Tante Nurah menunjukan kelasnya.
Jawaban Tante Nurah begitu melukai harga diriku, orang bodoh pun tahu untuk siapa dia melakukan ini semua.

"Aku rasa bukan untuk kebaikanku."

"Kebaikanmu dan juga Fere,"

"hanya Fere, hanya untuk kebaikan Fere. Bukan aku." Jawabku sambil menatap Tante Nurah tajam. "Tante tidak ingin kan punya menantu penyakitan dan sewaktu-waktu bisa menulari anak Tante, dan Tante juga tidak ingin kan punya menantu yang sering berganti-ganti pasangan dan melakukan sex bebas? Tapi Tante tidak perlu khawatir karena aku bukan gadis seperti itu, aku masih mempunyai norma dan agama."

"Kamu marah, Tante melakukan ini semua?" Kali ini Tante Nurah menatapku sebagai lawan bicaranya,

"tentu saja aku marah, dan aku rasa Fere pun akan sama marahnya denganku."

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang